Sebelum dipoles oleh Christopher Nolan dan
kemudian dibawa bertemu berbagai “kebisingan” oleh Zack Snyder karakter
Batman dan dunia yang ia punya di layar lebar pernah identik dengan
gloomy but artsy, a wicked world of misfits and psycho yang bergembira
layaknya sebuah fashion show, style over substance di tangan Tim Burton
yang gemar bergembira bersama horror, playfulness, dan tentu saja
visual. Mengacu pada tiga hal terakhir tadi dapat dikatakan kombinasi
novel ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ dan Tim Burton
merupakan match made in heaven, sebuah fantasy berisikan tragedi dan
simpati dipenuhi karakter unik dan aneh seperti kombinasi antara Harry
Potter dan X-Men. Apakah ini “match” atau“miss”? Miss Peregrine’s Home
for Peculiar Children: a robotic fantasy.
Jacob “Jake” Portman (Asa Butterfield) memiliki ikatan yang erat
dengan kakeknya Abraham “Abe” Portman (Terence Stamp), sosok yang selalu
membacakan dongeng sebelum tidur tentang sebuah rumah berisikan
anak-anak yang memiliki kekuatan unik di bawah pimpinan wanita bernama
Miss Alma LeFay Peregrine (Eva Green). Suatu ketika musibah menimpa Abe
dan kemudian meninggalkan Jake dalam kondisi sepi serta terus dirundung
mimpi buruk, dipaksa untuk bertemu psikiater bernama Dr. Golan (Allison
Janney) untuk dapat mengatasi kesedihannya. Tapi suatu ketika berawal
dari sebuah postcards rasa ingin tahu Jake terhadap kebenaran dari
dongeng yang selalu Abe ceritakan itu menjadi besar, bersama sang ayah
Franklin (Chris O’Dowd) dia kemudian menuju Wales berharap dapat
menemukan rumah Miss Peregrine.
Rumah itu masih ada namun telah hancur akibat bom dari tentara Jerman
pada tanggal 3 September 1943. Di sana Jake bertemu dengan Emma (Ella
Purnell), remaja aerokinetic yang dapat memanipulasi udara, dan setelah
pertemuan itu berbagai hal aneh kemudian datang menghampiri Jake salah
satunya terkait ruang dan waktu yang ia jalani. Bertemu dengan sosok
yang ia cari serta teman baru yang unik dari Bronwyn (Pixies Davies),
Olive (Lauren McCrostie), hingga Enoch (Finlay MacMillan), Jake kemudian
belajar tentang time loops yang digunakan oleh para Ymbrynes untuk
melindungi anak asuhnya dari makhluk menyerupai monster bernama
Hollowgast atau The Hollows, kelompok yang di bawah pimpinan Mr. Barron
(Samuel L. Jackson) sangat membutuhkan para peculiar children agar dapat
memulihkan eksperimen mereka.
Seperti yang telah disinggung di awal tadi berbicara tentang materi
cerita ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ seperti
“diciptakan” untuk dibentuk oleh Tim Burton bersama imajinasi miliknya,
dari cerita yang unik dan karakter yang aneh termasuk peluang besar
bermain di sektor visual berkat ruang bermain yang leluasa untuk
mengeksplorasi segala macam “keanehan” yang terkandung di dalamnya.
Meskipun memulai semuanya dengan cukup goyah cerita yang ditulis oleh
Jane Goldman (Kick-Ass, X-Men, Kingsman) berdasarkan novel karya Ransom
Riggs itu berhasil menemukan pijakannya, dan di tangan Tim Burton
petualangan penuh fantasi itu berhasil menciptakan semacam koneksi
dengan penonton di awal. Pencapaian tersebut harus diakui berasal dari
penggambaran di awal pada ikatan antara Jake dan Abe yang terasa manis,
penonton menjadi tertarik pada apa yang tersimpan di balik dongeng
tersebut. Namun yang menarik adalah dengan materi yang tampak kompleks
film ini justru mencoba menjadi simple.
Cukup menarik mendapati Tim Burton dan timnya justru memilih untuk
membuat kisah yang dipenuhi dengan permainan ruang dan waktu hingga
kekuatan super ini agar terasa simple. Itu sebuah visi yang oke, Tim
Burton seolah ingin menunjukkan semacam sense of wonder tapi tanpa
mengisi cerita dengan berbagai punches yang berlebihan, ia tetap bermain
dengan rasa horror andalannya dan juga simpati pada karakter namun
lebih menggunakan visual storytelling ketimbang narasi untuk
menggambarkan kegelapan dan kesedihan yang terkandung di dalam cerita.
Hal tersebut berjalan dengan baik di awal, dengan tujuan yang jelas
sejak awal aksi Jake mengeksplorasi “fantasi” yang ditanamkan oleh sang
kakek padanya itu terasa menarik, meskipun aliran cerita tidak mulus
tapi pesona tetap tumbuh secara perlahan. Hal tersebut semakin baik
ketika Jake telah bertemu dengan peculiars, dibentuk dengan Burton-esque
mereka karakter yang sangat menarik seperti perpaduan antara penyihir
dari Harry Potter yang bertugas layaknya anggota X-Men.
Jika berbicara tentang pesona sesungguhnya pesona yang dimiliki oleh
karakter ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ terasa cukup oke
ketika berjumpa penonton dan tidak terasa buruk ketika cerita telah
berakhir, namun hal tersebut tidak terjadi di cerita. Akibat memilih
bermain “sederhana” tadi daya tarik konflik tidak menunjukkan progress
yang menarik, menyaksikan Jake beradaptasi dengan teman barunya serta
berbagai tensi di dalam hubungan mereka terasa menarik tapi goal yang
sejak awal telah ditetapkan seperti tidak ikut berjalan bersama Jake, ia
berhenti di sepertiga awal dan baru muncul kembali menjelang akhir.
Tidak terdapat eksposisi yang berlebihan di dalam narasi menjadi
penyebabnya, konsekuensi logis dari perpindahan ruang dan waktu itu
bukan masalah yang mengganggu tapi akibat tidak dieksplorasi secara
lebih mendalam ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ tidak punya
pressure yang menarik, ia berjalan dengan sangat tenang sehingga miskin
thrill yang berkualitas.
Itu mengapa ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ terasa
seperti sebuah “robotic” fantasy, segala macam masalah yang ia mulai
berhasil ia selesaikan dengan baik tapi tanpa proses dengan rasa yang
dipenuhi dengan bumbu yang nikmat dan “menggoyang lidah”. Cerita ‘Miss
Peregrine’s Home for Peculiar Children’ terasa seperti rasa makanan
rumah sakit yang kita kenal pada umumnya, berhasil membuat kenyang namun
karena membatasi atau bahkan tidak ada garam, gula dan mungkin lemak di
dalamnya jadi terasa hambar dan well, cukup membosankan. Sosok Tim
Burton yang menyutradarai film seperti Batman, Beetlejuice, atau Edward
Scissorhands pasti akan mencoba untuk “mengasah” materi yang ia punya,
namun Tim Burton sekarang ini di sektor cerita lebih sering bermain aman
dengan imajinasinya, sama seperti Dark Shadows dan Big Eyes dia
berhasil menarik minat penonton terhadap cerita dan karakter,
menciptakan kesan “istimewa” namun kemudian tidak diasah dan berjalan
tidak dengan kecepatan penuh.
Tentu saja tidak mengharapkan Tim Burton menciptakan berbagai
kehebohan yang luar biasa di sini, namun jika dibumbui sedikit lebih
jauh investasi penonton pada karakter dan konflik mungkin dapat menjadi
lebih besar dan akibat impact yang dihasilkan dari petualangan Jake di
dunia fantasi itu mungkin dapat terasa lebih menarik. Karena sudah
terlalu sering bermain dengan fantasi dan imajinasi Tim Burton kurang
berhasil menciptakan kesan “awe” yang terasa impresif di sini, karakter
dan cerita perlahan terasa formulaic dan mechanical. Ketika berurusan
dengan emosi tidak ada bobot yang oke, horror tidak punya terror yang
kuat, dan unsur fantasi tidak punya kesan menakjubkan yang terasa
memukau. Tidak heran energi dan semangat yang menarik di awal perlahan
justru digunakan untuk berusaha menyambung setiap titik di dalam narasi,
bersama dengan visual yang mumpuni namun editing yang kurang oke
menghadirkan usaha eksposisi yang membuat cerita jadi terasa cukup sesak
sehingga petualangan fantasi itu berubah menjadi sebuah permainan yang
hanya sebatas ingin menyelesaikan misi saja.
Ya, sekali lagi, ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ tidak
punya impact yang kuat ketika ia telah menyelesaikan kisah yang terasa
menarik itu dan berjalan dalam durasi 127 menit sejak sinopsis. Tentu ia
punya hal positif, dari visual dan production design misalnya dengan
colorful images yang menarik, begitupula dengan cinematography, namun
mereka tidak dapat membantu mengurangi minus seperti dari sektor cerita
dan karakter yang terasa underdeveloped. Cast juga memberikan kinerja
terbaik mereka namun karakter mereka tidak pernah terasa bersinar. Asa
Butterfield berhasil membuat Jake tampil sebagai remaja teguh namun
bingung yang cukup menarik meskipun kurang ekspresif, Terence Stamp yang
cukup sukses menciptakan pondasi emosi di awal, serta Eva Green yang
kurang memiliki kesempatan lebih untuk membuat Miss Peregrine bersinar
meskipun meraih atensi penonton lewat pesona dan penampilannya yang
mencolok, dari makeup, rambut, hingga kostum. Para pemeran the peculiars
juga cukup oke, dibantu dengan CGI berhasil menampilkan kesan unik dan
aneh dari masing-masing karakter mereka.
Overall, Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children adalah film yang
kurang memuaskan. Menggabungkan dongeng bersama sedikit sentuhan rasa
superhero, fantasi dengan sedikit rasa horror dan tentu saja dibentuk
dengan Burton-esque, ‘Miss Peregrine’s’ merupakan sebuah presentasi yang
cukup menyenangkan dari segi visual, namun ketika berkombinasi dengan
cerita yang merupakan perpaduan time travel dan juga coming-of-age ini
terasa kurang memuaskan, terasa underdeveloped. Burton melakukan
keahliannya di sini, menciptakan cerita dan karakter yang weird namun
sama seperti beberapa film terakhirnya ia kurang berhasil menyuntikkan
“kesibukan” yang konsisten menarik sejak awal hingga akhir, mengasah
materi dengan berbagai bumbu dalam kecepatan penuh. It’s another “miss”
on Tim Burton’s career, not super bad but there’s no awe, feels
mechanical, feels like a “robotic” fantasy.
Sumber