I Love Her

ANIME AIKATSU

THUNDERSTROM

5 power

NAME IS BLOG

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Friday, November 18, 2016

Pete’s Dragon (2016) BluRay+SUB INDO


Released
14 September 2016 (Indonesia)
Country USA
Language
English
Genres
Adventure | Family | Fantasy
Director
David Lowery
Writers
David Lowery (screenplay), Toby Halbrooks (screenplay) | 3 more credits »
Starcast
Bryce Dallas Howard, Robert Redford, Oakes Fegley | See full cast & crew »
Rating
7.2/10
Review:
Disney belum berhenti untuk bercerita tentang believing in wonder di tahun ini. Di awal tahun kita sudah bertemu dengan ‘Zootopia’ bersama seekor kelinci yang berjuang meraih mimpinya, yang kemudian disusul oleh ‘The Jungle Book’ dan ‘Finding Dory’. Kini ‘Pete’s Dragon’ hadir mencoba meneruskan pencapaian tadi, sebuah redesign yang sehat pada a tale of a magic tentang kisah persahabatan antara seorang manusia dengan seekor naga dengan kombinasi heart, semangat, dan visual yang menyenangkan. It’s ‘The Good Dinosaur’ meets ‘The Jungle Book’ with good heart and magic.
Grace Meacham (Bryce Dallas Howard), seorang penjaga hutan, tidak percaya dengan cerita sang ayah, Mr. Meacham (Robert Redford), tentang naga yang hidup di dalam hutan, sampai ketika ia bertemu dengan Pete (Oakes Fegley). Remaja berusia 10 tahun itu mengatakan selama ini ia diasuh dan dilindungi oleh seekor naga hijau bernama Elliot. Pete yang selama ini bersembuyi dari interaksi sosial dengan manusia lain keluar dari hutan untuk meminta bantuan dari Grace. Hutan tempat ia dan Elliot selama ini tinggal sedang terancam aksi dari para penebang hutan yang dipimpin pria bernama Gavin (Karl Urban).
Disney membuat keputusan yang tepat di bangku sutradara, mereka memilih sutradara indie David Lowery (Ain’t Them Bodies Saints) yang berhasil menampilkan pesona yang dimiliki cerita. Memang ‘Pete’s Dragon’ pada akhirnya tidak terasa terlalu “flashy” tapi film ini berhasil menampilkan sebuah hiburan family adventure yang baik. Bagus visi yang David Lowery gunakan atau terapkan di film ini, setiap bagian dibuat agar tampak minimal tapi memberikan hasil yang tidak minimal. ‘Pete’s Dragon’ mencoba menampilkan materi yang sedikit serius, daya tarik dramatis terjaga tapi tidak terasa berat dan berlebihan, dan di sisi lain ada humor yang oke mengisi kisah dengan durasi 102 menit ini. Kombinasi tadi kualitasnya terjaga dengan baik hingga akhir, koneksi dan pesona tentang persahabatan dan keluarga terasa oke sambil membawa penonton menyaksikan Pete yang masuk kedalam lingkungan baru yang mengejutkannya dan membuat rasa ingin tahunya meluap.
Hal menarik lain dari ‘Pete’s Dragon’ adalah sebagai film dengan fantasi yang merupakan salah satu temanya usaha membuat penonton terpukau dengan visual tidak terlalu mendominasi. Pete’s Dragon punya drama sebagai central dengan nuansa yang terasa nyaman dan tenang, David Lowery mampu membumbui narasi klasik yang ia gunakan untuk berbicara tentang childhood dan reality. Penonton dewasa akan menemukan hal-hal manis dari sebuah film Disney bersama nostalgia masa anak-anak yang polos dan naif, sementara penonton muda akan terpesona dengan persahabatan antara Pete dan Elliot yang terasa menyenangkan diikuti. David Lowery juga berhasil menggambarkan hal-hal yang sedikit lebih “gelap” dengan baik, tidak membuat materi seperti kehilangan dan kesepian “mengganggu” daya tarik cerita dan menghasilkan kombinasi menarik antara family drama fantasy dengan sincerity yang menarik.
Jika harus memilih hal terbaik dari film ini maka yang jadi pilihan adalah cara sincerity mengisi cerita. Ini sederhana, masalah dan isu juga klasik, tapi ‘Pete’s Dragon’ punya kelembutan yang tidak sederhana. Sangat suka cara kasih sayang mengisi cerita, karakter manusia punya “heart” yang menarik dan Elliot juga memiliki hal yang sama. Itu membuat ancaman di plot yang klise itu tetap terasa menarik, karena kamu ingin karakter-karakter ini tetap merasakan kebahagiaan. Fokus film ini juga oke, tidak overuse menggunakan usaha menyelamatkan Elliot tapi juga arena bagi Pete belajar tentang dunia, dari rasa ingin hidup bersama manusia tapi juga takut kehilangan teman baiknya, Elliot. Memang di beberapa bagian ‘Pete’s Dragon’ terasa lambat dan kurang begitu exciting tapi cerita dan karakter tetap terus tumbuh menjadi lebih menarik. Dan hal itu juga berkat elemen teknis yang berhasil membuat Elliot menjadi karakter yang punya “heart” yang menarik.
‘Pete’s Dragon’ punya elemen teknis yang berhasil membuat elemen fantasi miliknya jadi terasa enak untuk dinikmati, selain juga punya peran dalam membuat drama juga terasa semakin menarik. Thrill yang dihasilkan visual juga terasa oke, David Lowery cermat dalam membangun lapisan dan irama untuk mempermainkan antisipasi penonton, dan momen ketika Elliot dan Pete terbang lalu kemudian berputar-putar di awan merupakan momen visual terbaik dari ‘Pete’s Dragon’. Dibantu dengan cinematography dan scoring yang juga oke kisah tentang “keajaiban” ini juga punya visual effects yang manis pada cara mereka membentuk Elliot menjadi karakter animated tapi dengan rasa cartoonish yang tidak berlebihan. Bentuk fisiknya tampak oke dan karakteristik yang ditanamkan padanya membuat Elliot menjadi sosok baik hati yang menyenangkan, lebih dari sekedar hewan peliharaan Elliot merupakan naga yang membuat kamu ingin memeluknya.
Dilengkapi dengan kinerja cast yang tidak kalah memikat dalam menyuntikkan kehangatan ke dalam cerita (Bryce Dallas Howard is good) David Lowery berhasil membentuk ‘Pete’s Dragon’ menjadi family drama and fantasy yang menyenangkan. Sesuatu yang familiar telah eksis sejak sinopsis tapi ‘Pete’s Dragon’ punya semangat yang segar, terasa fluid dalam menampilkan imajinasi yang tampil minimalis dan oke dalam membangun drama berisikan pesan seperti loyalty dan melindungi sosok yang kamu sayangi. Di beberapa bagian memang terasa sedikit lambat tapi tanpa unsur musical cerita dan karakter terus tumbuh menjadi menarik bersama presentasi visual yang memikat di dalam kisah tentang believing in wonder ini. Tidak terlalu “flashy” ‘Pete’s Dragon’ merupakan film yang menyenangkan untuk ditonton bersama keluarga.
Sumber

FILE SIZE : 308 MB
MP4
LINK

Friday, November 11, 2016

Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children (2016) HDRip+SUB INDO



Released
30 September 2016 (Indonesia)
Country USA | UK | Belgium
Language
English
Genres
Adventure | Drama | Family | Fantasy
Director
Tim Burton
Writers
Ransom Riggs (based upon the novel written by), Jane Goldman (screenplay)
Starcast
Eva Green, Asa Butterfield, Samuel L. Jackson | See full cast & crew »
Rating
7.1/10
Review:
Sebelum dipoles oleh Christopher Nolan dan kemudian dibawa bertemu berbagai “kebisingan” oleh Zack Snyder karakter Batman dan dunia yang ia punya di layar lebar pernah identik dengan gloomy but artsy, a wicked world of misfits and psycho yang bergembira layaknya sebuah fashion show, style over substance di tangan Tim Burton yang gemar bergembira bersama horror, playfulness, dan tentu saja visual. Mengacu pada tiga hal terakhir tadi dapat dikatakan kombinasi novel ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ dan Tim Burton merupakan match made in heaven, sebuah fantasy berisikan tragedi dan simpati dipenuhi karakter unik dan aneh seperti kombinasi antara Harry Potter dan X-Men. Apakah ini “match” atau“miss”? Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children: a robotic fantasy.
Jacob “Jake” Portman (Asa Butterfield) memiliki ikatan yang erat dengan kakeknya Abraham “Abe” Portman (Terence Stamp), sosok yang selalu membacakan dongeng sebelum tidur tentang sebuah rumah berisikan anak-anak yang memiliki kekuatan unik di bawah pimpinan wanita bernama Miss Alma LeFay Peregrine (Eva Green). Suatu ketika musibah menimpa Abe dan kemudian meninggalkan Jake dalam kondisi sepi serta terus dirundung mimpi buruk, dipaksa untuk bertemu psikiater bernama Dr. Golan (Allison Janney) untuk dapat mengatasi kesedihannya. Tapi suatu ketika berawal dari sebuah postcards rasa ingin tahu Jake terhadap kebenaran dari dongeng yang selalu Abe ceritakan itu menjadi besar, bersama sang ayah Franklin (Chris O’Dowd) dia kemudian menuju Wales berharap dapat menemukan rumah Miss Peregrine.
Rumah itu masih ada namun telah hancur akibat bom dari tentara Jerman pada tanggal 3 September 1943. Di sana Jake bertemu dengan Emma (Ella Purnell), remaja aerokinetic yang dapat memanipulasi udara, dan setelah pertemuan itu berbagai hal aneh kemudian datang menghampiri Jake salah satunya terkait ruang dan waktu yang ia jalani. Bertemu dengan sosok yang ia cari serta teman baru yang unik dari Bronwyn (Pixies Davies), Olive (Lauren McCrostie), hingga Enoch (Finlay MacMillan), Jake kemudian belajar tentang time loops yang digunakan oleh para Ymbrynes untuk melindungi anak asuhnya dari makhluk menyerupai monster bernama Hollowgast atau The Hollows, kelompok yang di bawah pimpinan Mr. Barron (Samuel L. Jackson) sangat membutuhkan para peculiar children agar dapat memulihkan eksperimen mereka.
Seperti yang telah disinggung di awal tadi berbicara tentang materi cerita ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ seperti “diciptakan” untuk dibentuk oleh Tim Burton bersama imajinasi miliknya, dari cerita yang unik dan karakter yang aneh termasuk peluang besar bermain di sektor visual berkat ruang bermain yang leluasa untuk mengeksplorasi segala macam “keanehan” yang terkandung di dalamnya. Meskipun memulai semuanya dengan cukup goyah cerita yang ditulis oleh Jane Goldman (Kick-Ass, X-Men, Kingsman) berdasarkan novel karya Ransom Riggs itu berhasil menemukan pijakannya, dan di tangan Tim Burton petualangan penuh fantasi itu berhasil menciptakan semacam koneksi dengan penonton di awal. Pencapaian tersebut harus diakui berasal dari penggambaran di awal pada ikatan antara Jake dan Abe yang terasa manis, penonton menjadi tertarik pada apa yang tersimpan di balik dongeng tersebut. Namun yang menarik adalah dengan materi yang tampak kompleks film ini justru mencoba menjadi simple.
Cukup menarik mendapati Tim Burton dan timnya justru memilih untuk membuat kisah yang dipenuhi dengan permainan ruang dan waktu hingga kekuatan super ini agar terasa simple. Itu sebuah visi yang oke, Tim Burton seolah ingin menunjukkan semacam sense of wonder tapi tanpa mengisi cerita dengan berbagai punches yang berlebihan, ia tetap bermain dengan rasa horror andalannya dan juga simpati pada karakter namun lebih menggunakan visual storytelling ketimbang narasi untuk menggambarkan kegelapan dan kesedihan yang terkandung di dalam cerita. Hal tersebut berjalan dengan baik di awal, dengan tujuan yang jelas sejak awal aksi Jake mengeksplorasi “fantasi” yang ditanamkan oleh sang kakek padanya itu terasa menarik, meskipun aliran cerita tidak mulus tapi pesona tetap tumbuh secara perlahan. Hal tersebut semakin baik ketika Jake telah bertemu dengan peculiars, dibentuk dengan Burton-esque mereka karakter yang sangat menarik seperti perpaduan antara penyihir dari Harry Potter yang bertugas layaknya anggota X-Men.
Jika berbicara tentang pesona sesungguhnya pesona yang dimiliki oleh karakter ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ terasa cukup oke ketika berjumpa penonton dan tidak terasa buruk ketika cerita telah berakhir, namun hal tersebut tidak terjadi di cerita. Akibat memilih bermain “sederhana” tadi daya tarik konflik tidak menunjukkan progress yang menarik, menyaksikan Jake beradaptasi dengan teman barunya serta berbagai tensi di dalam hubungan mereka terasa menarik tapi goal yang sejak awal telah ditetapkan seperti tidak ikut berjalan bersama Jake, ia berhenti di sepertiga awal dan baru muncul kembali menjelang akhir. Tidak terdapat eksposisi yang berlebihan di dalam narasi menjadi penyebabnya, konsekuensi logis dari perpindahan ruang dan waktu itu bukan masalah yang mengganggu tapi akibat tidak dieksplorasi secara lebih mendalam ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ tidak punya pressure yang menarik, ia berjalan dengan sangat tenang sehingga miskin thrill yang berkualitas.
Itu mengapa ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ terasa seperti sebuah “robotic” fantasy, segala macam masalah yang ia mulai berhasil ia selesaikan dengan baik tapi tanpa proses dengan rasa yang dipenuhi dengan bumbu yang nikmat dan “menggoyang lidah”. Cerita ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ terasa seperti rasa makanan rumah sakit yang kita kenal pada umumnya, berhasil membuat kenyang namun karena membatasi atau bahkan tidak ada garam, gula dan mungkin lemak di dalamnya jadi terasa hambar dan well, cukup membosankan. Sosok Tim Burton yang menyutradarai film seperti Batman, Beetlejuice, atau Edward Scissorhands pasti akan mencoba untuk “mengasah” materi yang ia punya, namun Tim Burton sekarang ini di sektor cerita lebih sering bermain aman dengan imajinasinya, sama seperti Dark Shadows dan Big Eyes dia berhasil menarik minat penonton terhadap cerita dan karakter, menciptakan kesan “istimewa” namun kemudian tidak diasah dan berjalan tidak dengan kecepatan penuh.
Tentu saja tidak mengharapkan Tim Burton menciptakan berbagai kehebohan yang luar biasa di sini, namun jika dibumbui sedikit lebih jauh investasi penonton pada karakter dan konflik mungkin dapat menjadi lebih besar dan akibat impact yang dihasilkan dari petualangan Jake di dunia fantasi itu mungkin dapat terasa lebih menarik. Karena sudah terlalu sering bermain dengan fantasi dan imajinasi Tim Burton kurang berhasil menciptakan kesan “awe” yang terasa impresif di sini, karakter dan cerita perlahan terasa formulaic dan mechanical. Ketika berurusan dengan emosi tidak ada bobot yang oke, horror tidak punya terror yang kuat, dan unsur fantasi tidak punya kesan menakjubkan yang terasa memukau. Tidak heran energi dan semangat yang menarik di awal perlahan justru digunakan untuk berusaha menyambung setiap titik di dalam narasi, bersama dengan visual yang mumpuni namun editing yang kurang oke menghadirkan usaha eksposisi yang membuat cerita jadi terasa cukup sesak sehingga petualangan fantasi itu berubah menjadi sebuah permainan yang hanya sebatas ingin menyelesaikan misi saja.
Ya, sekali lagi, ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ tidak punya impact yang kuat ketika ia telah menyelesaikan kisah yang terasa menarik itu dan berjalan dalam durasi 127 menit sejak sinopsis. Tentu ia punya hal positif, dari visual dan production design misalnya dengan colorful images yang menarik, begitupula dengan cinematography, namun mereka tidak dapat membantu mengurangi minus seperti dari sektor cerita dan karakter yang terasa underdeveloped. Cast juga memberikan kinerja terbaik mereka namun karakter mereka tidak pernah terasa bersinar. Asa Butterfield berhasil membuat Jake tampil sebagai remaja teguh namun bingung yang cukup menarik meskipun kurang ekspresif, Terence Stamp yang cukup sukses menciptakan pondasi emosi di awal, serta Eva Green yang kurang memiliki kesempatan lebih untuk membuat Miss Peregrine bersinar meskipun meraih atensi penonton lewat pesona dan penampilannya yang mencolok, dari makeup, rambut, hingga kostum. Para pemeran the peculiars juga cukup oke, dibantu dengan CGI berhasil menampilkan kesan unik dan aneh dari masing-masing karakter mereka.
Overall, Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children adalah film yang kurang memuaskan. Menggabungkan dongeng bersama sedikit sentuhan rasa superhero, fantasi dengan sedikit rasa horror dan tentu saja dibentuk dengan Burton-esque, ‘Miss Peregrine’s’ merupakan sebuah presentasi yang cukup menyenangkan dari segi visual, namun ketika berkombinasi dengan cerita yang merupakan perpaduan time travel dan juga coming-of-age ini terasa kurang memuaskan, terasa underdeveloped. Burton melakukan keahliannya di sini, menciptakan cerita dan karakter yang weird namun sama seperti beberapa film terakhirnya ia kurang berhasil menyuntikkan “kesibukan” yang konsisten menarik sejak awal hingga akhir, mengasah materi dengan berbagai bumbu dalam kecepatan penuh. It’s another “miss” on Tim Burton’s career, not super bad but there’s no awe, feels mechanical, feels like a “robotic” fantasy.
Sumber
 

FILE SIZE : 343 MB
MP4
LINK

Monday, November 7, 2016

Ouija: Origin of Evil (2016) HDRip + SUB iNDO

Ouija: Origin of Evil
(2016)

Quality: HDRip

Released
2 November 2016 (Indonesia)
Country USA
Language
English
Genres
Horror | Thriller
Director
Mike Flanagan
Writers
Mike Flanagan, Jeff Howard
Starcast
Elizabeth Reaser, Lulu Wilson, Annalise Basso | See full cast & crew »
Rating
6.6/10
Review:
Bermain dengan hal-hal supernatural selalu tampak menjanjikan sesuatu yang “menyenangkan”, tidak heran dengan budget kecil film-film horror kerap berhasil meraih keuntungan finansial yang besar termasuk that dreadful ‘Ouija’ yang hadir dua tahun lalu. Budget kecil membuat rasa takut pada potensi merugi juga kecil, tidak heran film-film di genre horror kerap tampak seperti trial and error, putar materi klise dan klasik di mana karakter hantu melihat karakter manusia dan karakter manusia merasakan eksistensi karakter hantu di sekitarnya. Genre horror tidak sepenuhnya membutuhkan materi baru yang segar namun sosok tepat yang mampu mengolah materi klasik dan klise tadi menjadi sajian yang segar. Film ini berada di tangan sosok yang tepat. Ouija: Origin of Evil: an effectively creepy horror without being overly cheesy.
Alice Zander (Elizabeth Reaser) merupakan seorang single mother dengan dua orang putri, Lina (Annalise Basso) dan juga Doris (Lulu Wilson), dua sosok yang membantu Alice ketika ia sedang beraksi melakukan aksi penipuan berkedok fortune teller. Sayangnya usaha tersebut masih belum mampu untuk meringakan beban finansial yang sedang mereka hadapi, tagihan belum dibayar menandakan potensi penyitaan rumah yang mereka tempati semakin besar. Suatu ketika sedang berkunjung ke rumah temannya Lina diajak untuk bermain ouija dan dari sana ia menyarankan sang ibu untuk menggunakan papan tersebut untuk membuat bisnis mereka semakin menarik.
Celakanya usaha tersebut justru memanggil sosok asing yang tertarik untuk bermain dengan mereka. Ketika sedang melakukan setting pada mainan barunya itu Alice tanpa sadar telah memanggil roh yang bermukim di rumah mereka, bernama Marcus dan hadir lewat perantaraan Doris. Doris tidak tahu bahwa sang ayah telah tiada percaya bahwa situasi “unik” yang ia rasakan itu akibat arwah sang ayah, terus dilanda rasa penasaran untuk bermain Ouija. Bersama dengan Father Tom (Henry Thomas) Alice dan Lina perlahan yakin bahwa Doris kini berada di bawah kendali roh jahat.
Sinopsis di atas tadi terkesan standard dan mungkin akan terasa basi jika menilik hubungan sebab dan akibat yang ia tawarkan. Faktanya tidak ada materi yang benar-benar fresh from the oven di dalam cerita Ouija: Origin of Evil, tidak hanya materi yang terasa hangat saja namun juga tidak terdapat materi yang benar-benar segar dan baru. Formula Ouija: Origin of Evil tipikal film horror pada umumnya, karakter bertemu dengan masalah, lalu build-up dan kemudian bermain dengan situasi penuh rasa waspada dari “kehadiran” sosok “asing” di sekitar karakter. Ya, there or not there dengan diselingi beberapa fake-outs klasik, Mike Flanagan sepenuhnya berpegang teguh dengan formula klasik dari genre horror namun apa yang menyebabkan materi yang tidak segar tadi justru berhasil menyajikan presentasi horror yang terasa segar adalah karena Mike Flanagan sejak awal memilih bermain aman namun terkendali.
Mungkin terkesan kurang menantang namun hal tersebut yang justru membuat berbagai hal dan materi klasik genre horror di film ini bekerja dengan baik. Efektifitas adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan Ouija: Origin of Evil secara singkat, hal tersebut eksis sejak awal hingga akhir. Karakter dan juga konflik berhasil dibentuk dengan cepat dan tepat, kita dapat merasakan kehadiran tekanan yang sedang dihadapi oleh Alice dan dua putrinya di dalam cerita, kemudian cara papan ouija masuk ke dalam rumah keluarga Zander itu juga terasa halus termasuk penggunaan kondisi di mana Doris yakin bahwa arwah tersebut merupakan sang ayah. Koneksi antar cerita dan juga karakter terbangun dengan baik sejak awal, kita juga bertemu dengan Mikey (Parker Mack) yang berhasil menjadi “boneka” yang efektif bagi Doris, dan setelah koneksi tadi sukses menjadi semacam “alarm” bagi penonton setelah itu Flanagan coba menghadirkan “keriuhan” yang telah dinanti.
Kata yang digunakan memang keriuhan namun mereka hadir tanpa kebisingan yang berlebihan. Bermain dengan keheningan, itu senjata utama yang Flanagan gunakan di sini, dan seperti disebutkan di awal tadi penonton yang telah merasa seolah menjadi bagian lain dari keluarga Zander terus merasa waspada karena kita tahu di sana ada hantu. Di paruh pertama semua terasa lowkey namun eerie mood yang dihasilkan terus tumbuh dengan baik, penonton dibuat menantikan kemunculan sosok asing itu dan ketika momen itu tiba Mike Flanagan (Absentia, Oculus, Hush, Before I Wake) sajikan dengan punchs yang manis, effectively creeping audiences out. Pola klasik yang digunakan berhasil dikendalikan dengan baik oleh Flanagan terutama pada cara ia bermain tarik dan ulur bersama penonton, membuat penonton perlahan merasa unnerving untuk kemudian memunculkan berbagai “kejutan” yang manis.
Hal lain yang terasa impresif dari eksekusi Flanagan di sini adalah ia tidak mencoba menggunakan berbagai kejutan tadi untuk menciptakan kesan menakutkan yang terasa overwhelm. Ouija: Origin of Evil tidak menawarkan sebuah petualangan layaknya rollercoaster dengan track dipenuhi naik dan turun yang mengerikan tapi dengan tetap tampak tenang the scares yang dihasilkan justru terasa kumulatif, terasa terus bergerak semakin besar. Kesan creepy yang dihasilkan Ouija: Origin of Evil secara perlahan terus menumpuk, meskipun memberi kesempatan bagi beberapa humor kecil untuk tampil itu tidak membuat ekspektasi penonton pada menantikan kemunculan berbagai “kejutan” menjadi turun. Hal tersebut disebabkan karena Flanagan berusaha untuk menjauhkan materi yang dapat menciptakan kesan random di dalam cerita, secara step by step ia bangun mood and scare sehingga kesan menakutkan ketika kejutan itu hadir terasa impactful.
Hal lain yang Flanagan lakukan dengan baik di sini adalah ia berhasil menciptakan sebuah kemasan dipenuhi dengan timing yang tepat dari kemunculan setiap elemen cerita. Di awal dia fokus pada menciptakan dasar bagi karakter dan juga konflik namun ketika itu telah usai dua hal tadi tidak lantas berada di satu ruangan dengan tugas utama untuk hanya menciptakan kehebohan yang mengejutkan penonton saja. Paruh kedua harus diakui terasa predictable namun kesan fun yang dihasilkan paruh pertama tidak luntur di bagian ini, dari karakter, konflik, hingga elemen teknis seperti score dan visual mereka berhasil dikombinasikan dengan baik oleh Flanagan sebagai editor untuk menakut-nakuti penontonnya. Teror dikemas dengan sangat efektif, dari twist and turns hingga hal sederhana seperti mempermainkan silence moments ketika that thing sedang mengintai karakter untuk perlahan mendekat dan mendekat.
Hal-hal semacam itu yang menjadi daya tarik dari film horror dan di sini ditampilkan Flanagan dengan baik meskipun di babak akhir pace terasa sedikit kendor dan tidak begitu kuat. Bersama dengan Jeff Howard screenplay yang dihasilkan memang tidak istimewa namun lebih dari mampu untuk menciptakan kesan padat, dari arena bermain bagi berbagai kejutan hingga pada hal yang sedikit lebih berat seperti tentang family. Di sisi lain terdapat api kecil yang terus membakar suspense, mempertahankan atmosfir menakutkan yang telah terbentuk dan tetap stay away dari usaha “memukul” penonton dengan berbagai kejutan yang cheap dan random. Dan itu semua dilengkapi dengan kinerja akting yang juga sangat efektif dari jajaran cast, dari Elizabeth Reaser sebagai “guardian”, kemudian Annalise Basso hingga Lulu Wilson yang tampil exceptionally good terlebih ketika ia bermain dengan senyum yang gentle namun creepy itu.
Overall, Ouija: Origin of Evil adalah film yang memuaskan. Ini merupakan kelanjutan dan juga prequel yang superior for that dreadful ‘Ouija’, dan di sisi lain menjadi bukti bahwa genre horror kembali mendapatkan satu talenta yang berhasil meninggalkan kesan dependable, yaitu Mike Flanagan. Ini adalah bukti bahwa materi yang klise dan basi pada industri film bukan masalah yang besar, materi klasik dan klise tetap memiliki potensi untuk menciptakan sebuah sajian yang segar jika diolah dengan baik dan benar. Mike Flanagan melakukan itu di sini, memiliki great sense pada eksekusi untuk membuat berbagai terror itu work dan menghasilkan sebuah effective and entertaining horror.
Sumber

FILESIZE: 273 MB
LINK

Subtitle: hd.ouijaorigin.2016.zip | More
Bahasa: Indonesia [Manual]
Format : SUB & SRT
Subtitle By: Zolren

Friday, November 4, 2016

Doctor Strange (2016) HD CAM + sub Indo

Hasil gambar untuk doctor strange 
Sinopsis Film Doctor Strange (2016)

Film Doctor Strange 2016 ini bercerita tentang seseorang ahli bedah yang sangat tersohor bernama Dr. Stephen Strange yang mana pada saat itu diperankan oleh seorang aktor bernama Benedict Cumberbatch. Kemudian pada suatu hari ketika sang dokter tersebut mengalami sebuah insiden kecelakaan serius dan juga membuat melukai tangannya. Peristiwa itu bahkan membuat karirnya berakhir. Dan dengan tekad tanpa putus asa, akhirnya Dr. Strange bertekad untuk dapat menemukan obat agar kehidupannya dapat kembali normal kembali.

Setelah kehidupannya normal kembali Doctor memiliki kekuatan yaitu "The Sorcerer Supreme" atau sebuah kekuatan sehir yang bermaksut untuk melindungi bumi dari ancaman makhluk-makhluk jahat.

Review Film Doctor Strange (2016)

Film Doctor Strange yang mana merupakan sebuah film dengan gendre Fantasi dan juga petualangan yang sangat seru dan diadaptasi dari sebuah komik Marvel yang sangat tersohor saat ini. Film ini sedikit menceritakan mengenai bagaimana kisah seorang dokter yang mengalami hari-hari buruk dalam hidupnya setelah mengalami kecelakaan dan kemudian dia kembali bertekad untuk dapat mengembalikan kembali kehidupannya seperti dulu.

Released
26 October 2016 (Indonesia)
Country USA
Language
English
Genres
Action | Adventure | Fantasy | Sci-Fi
Director
Scott Derrickson
Writers
Jon Spaihts, Scott Derrickson | 1 more credit »
Starcast
Benedict Cumberbatch, Chiwetel Ejiofor, Rachel McAdams | See full cast & crew »
Rating
8.0/10

FILE SIZE : 287 MB
MP4
LINK
 [USERCLOUD] 

Subtitle: hdcam.drstrange.2016.zip | More
Bahasa: Indonesia [Manual]
Format : SUB & SRT
Subtitle By: Yechika Chisilia

Thursday, November 3, 2016

REGISTER ADSIME

BLog anda mau di pasang iklan ni coba adsime langsung aja gw kasih linknya 

Saturday, October 22, 2016

APLIKASI BLOG THUNDERSTROM

Blog Thunderstrom sekarang ada aplikasinya ini untuk memudahkan anda mendownload film di Film Di Thunderstrom
tanpa basa basi lagi ini linknya



FILE SIZE : 4,5MB
LINK

Nine Lives (2016) BluRay


Released
5 August 2016 (USA)
Country France | China
Language
English
Genres
Comedy | Family | Fantasy
Director
Barry Sonnenfeld
Writers
Gwyn Lurie, Matt Allen | 3 more credits »
Starcast
Kevin Spacey, Jennifer Garner, Robbie Amell | See full cast & crew »
Rating
imdb-icon.gif 4.6/10

Sinopsis:
Film NINE LIVES bercerita tentang seorang pengusaha yang gila kerja. Hari-harinya selalu diisi dengan bekerja dan terus bekerja. Baginya tak ada hari yang tak diisi dengan bekerja. Hal tersebut lantas membuat dirinya menjadi memiliki jarak dengan keluarganya sendiri. Walaupun begitu, ia tetap menikmati pekerjaannya tersebut.
Hingga suatu hari, pria tersebut mengalami sebuah kecelakaan yang tak sengaja mengakibatkan dirinya berada dalam tubuh seekor kucing rumah milik keluarganya. Kini ia tak bisa lagi bekerja seperti dahulu, dan hidup layaknya seekor kucing. Selagi ia berada dalam tubuh seekor kucing, ia belajar mengenai menghabiskan waktu dengan keluargnya.








FILE SIZE : 253MB


Friday, October 21, 2016

Sausage Party (2016) BluRay


Released
12 August 2016 (USA)
Country USA
Language
English
Genres
Animation | Adventure | Comedy
Directors
Greg Tiernan, Conrad Vernon
Writers
Kyle Hunter (screenplay), Ariel Shaffir (screenplay) | 5 more credits »
Starcast
Seth Rogen, Kristen Wiig, Jonah Hill | See full cast & crew »
Rating
imdb-icon.gif 6.7/10


SINOPSIS:Film Sausage Party bercerita tentang sekelompok tokoh yang mencari dan berusaha menemukan Sosis guna mengungkap keberadaannya.  setelah mereka jatuh kedalam keranjang belanjaan , pada saat itu barulah mereka memulai perjalana yang penuh bahaya yang harus mereka lewat. mereka harus kembali ke gang sebelum tanggal 4 juli.



FILE SIZE :250MB

Subtitle: br.sausgprty.2016.zip | More
Bahasa: Indonesia [Manual]
Format : SUB & SRT
Subtitle By: ElHeisenberg

Robinson Crusoe (2016) BluRay

Hasil gambar untuk ROBIN COURSE WILD LIFE 2016
 
Released
 9 September 2016 (USA)
Country Belgium | France
Language
English | French | German
Genres
Animation | Adventure | Comedy | Family
Directors
Vincent Kesteloot, Ben Stassen
Writer
Domonic Paris
Starcast
Matthias Schweighöfer, Kaya Yanar, Ilka Bessin | See full cast & crew »
Rating
imdb-icon.gif 5.3/10

ROBINSON CRUSOE (The Wild Life) bercerita tentang Tuesday, seekor burung kakaktua yang tinggal bersama dengan hewan lainnya. Tuesday memiliki cita-cita untuk menjelajahi dunia. Pasca diterpa badai kencang, Tuesday dan temannya menemukan sosok asing di pantai, Robinson Crusoe. Tuesday segera melihat Crusoe sebagai tiket keluar dari pulau itu untuk menjelajah ke daratan lain. Sebaliknya, kunci keselamatan Crusoe ada di tangan Tuesday dan kawan-kawan.
Awalnya tidak mudah, namun perlahan hidup mereka berjalan dengan harmonis sampai kemunculan dua kucing liar yang ingin menguasai pulau. Pertempuran pun terjadi melawan para kucing, sampai akhirnya Crusoe dan para hewan menemukan kekuatan sesungguhnya dari persahabatan.
 

FILE SIZE; 256MB


Subtitle: br.robnsoncrsoe.2016.zip | More
Bahasa: Indonesia [Manual]
Format : SUB & SRT
Subtitle By: De_PLaYBoX

Thursday, October 20, 2016

loGO Thunderstrom


LIGHTS OUST {2016} BLUERAY

/>
movieinfo.png
Released
22 July 2016 (USA)
Country USA
Language
English
Genres
Horror | Thriller
Director
David F. Sandberg
Writers
Eric Heisserer (screenplay), David F. Sandberg (based on the short film by)
Starcast
Teresa Palmer, Gabriel Bateman, Maria Bello | See full cast & crew »
Rating
imdb-icon.gif6.6/10
Review:
Apa hal pertama yang terlintas di pikiran kamu ketika berbicara tentang kondisi gelap? Banyak memang, salah satunya adalah hantu. Ketika kamu dalam perjalanan pulang di malam hari dan melewati tempat gelap kamu tiba-tiba merasa ada “sesuatu” mengikuti di belakang kamu, kamu berhenti kemudian dengan menggunakan cahaya dari smartphone mencoba mengecek dan tidak ada apapun di belakangmu, namun ketika kembali melangkah maju perasaan sedang “diikuti” itu kembali muncul. Produced by the man behind The Conjuring, Insidious, and Furious 7, ‘Lights Out’ berhasil memanfaatkan dan mengolah dengan baik kegelapan tadi menjadi sebuah sajian horror yang menyenangkan. ‘The Ring’ married ‘A Nightmare on Elm Street’, it’ll make you think twice before turning the lights out.

FILE SIZE 234MB+-
Subtitle: br.lightsout.2016.zip | More
Bahasa: Indonesia [Manual]
Format : SUB & SRT
Subtitle By: Lebah Ganteng

Sunday, October 16, 2016

Ice Age 5: Collision Course (2016) WEB-DL + Subtitle Indonesia MP4

 
ice-age-collision-course.jpg
movieinfo.png
Released
22 July 2016 (USA)
CountryUSA
Language
English
Genres
Animation | Adventure | Comedy
Directors
Mike Thurmeier, Galen T. Chu
Writers
Michael J. Wilson (screenplay), Michael Berg (screenplay) | 2 more credits »
Starcast
Ray Romano, Denis Leary, John Leguizamo | See full cast & crew »
Rating
imdb-icon.gif5.7/10
Review:
Secara logika jika kamu masih berhasil memperoleh keuntungan dari produk atau jasa yang kamu hasilkan atau lakukan sebenarnya wajar jika kamu tidak berniat untuk melakukan sebuah perubahan. Mencoba menjadi lebih baik tapi dengan risiko merugi atau meneruskan formula yang sama dan telah terbukti menguntungkan? Sudah sejak film kedua Blue Sky Studios menerapkan cara opsi pertama, recycling terhadap Ice Age dengan mengandalkan pesona karakter dengan aksi hyperactive mereka. Tiga film penerus Ice Age sebelumnya tidak semuanya terasa kurang menyenangkan, namun mayoritas dari mereka tidak berhasil berada di level yang sama dengan Ice Age. Ice Age: Collision Course?
Ketika mencoba mengubur biji pohon ek kesayangannya agar tidak dicuri Scrat justru mengaktifkan sebuah pesawat luar angkasa lewat aksinya itu. Pesawat tersebut membawanya ke ruang angkasa di mana ia mulai menciptakan kekacauan. Akibat ulah yang dilakukan oleh Scrat beberapa meteor sedang bergerak mengarah menuju ke bumi. Hal tersebut memaksa Manny (Ray Romano) berserta istrinya Ellie (Queen Latifah), Peaches (Keke Palmer) dan tunangannya Julian (Adam DeVine), Sid (John Leguizamo) bersama pacarnya Francine (Melissa Rauch), serta Diego (Denis Leary) terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk menyelamatkan diri.
Hanya itu? Iya, hanya itu masalah di sinopsis tadi, meteor datang dan The Herd kembali dihadapkan pada berbagai rintangan. Sebenarnya bukan masalah karena empat film terdahulunya dari segi cerita juga tidak terasa special tapi dengan budget $324 juta berhasil menghasilkan box-office sebesar $2,8 Milyar. Sejak film ketiga sudah tidak lagi menaruh ekspektasi pada entri terbaru Ice Age film series untuk membawa franchise ini bergerak naik secara kualitas, hanya datang dan berharap “kekacauan” yang diberikan mampu menghibur seperti dua film pertama Ice Age. Tapi sayangnya yang terjadi justru sebaliknya, kemampuan menghibur setiap film Ice Age terbaru sejak 'Ice Age: The Meltdown' berada di grafik menurun. Presentasi visual yang menarik dengan parade warna-warni masih ada, berbagai kekonyolan slapstick tidak menjadi masalah, tapi pesona 'Ice Age: Collision Course' tidak pernah terasah. Yang tersisa hanya seekor sapi perah kekurangan nutrisi yang tidak lagi menghasilkan susu yang enak dan segar.
Dengan durasi 94 menit tidak banyak atau mungkin lebih tepatnya tidak ada hal baru yang benar-benar menarik di Ice Age: Collision Course, jika kamu sudah menonton Ice Age: Continental Drift maka ini akan terasa seperti film tersebut dengan topeng baru. Wajar memang karena pola film Ice Age selalu mengikuti arah dan sasaran yang sama sejak awal, tapi yang menjengkelkan adalah di film ini sutradara Mike Thurmeier bersama tim produksi seperti tidak tertarik untuk mengambil risiko bahkan dalam jumlah mini sekalipun. Akibat terlalu akrab 'Ice Age: Collision Course' seperti tidak memiliki ruang untuk kejutan yang tampil menarik, hal utama yang diharapkan dari film ini. Karakter eksentrik tampil di dalam zona aman dan nyaman mereka, tidak ada "konsekuensi" yang menantang membuat pesona karakter kerap terasa datar. Dampaknya kecerian yang diberikan film ini mini, bahkan bertemu dengan lelucon yang lucu dapat dihitung dengan jari tangan.
Ice Age: Collision Course punya usaha menghadirkan lelucon yang tidak buruk tapi hasil yang diciptakan lebih sering berada di zona ambigu, mayoritas berada di antara lucu dan tidak lucu. Dari fart jokes hingga slapstick lelucon terbaik dari Ice Age: Collision Course hanya berhasil menggelitik, banyak dari mereka yang sebenarnya bisa menjadi lucu tapi seperti kurang bumbu. Usaha bermain dengan referensi pop culture seperti misalnya 2001 - A Space Odyssey juga terasa kurang oke. Masalah terbesar hadir dari karakter yang di sini seperti saling berebut panggung utama untuk meraih atensi. Tidak hanya karakter utama namun karakter lainnya kini mendapat kesempatan yang lebih besar di layar, kehadiran mereka sayangnya membuat alur cerita dipenuhi “ketidakjelasan,” Ice Age: Collision Course terasa seperti kumpulan sketsa dari berbagai individu yang tidak semuanya berhasil tampil menarik.
Jika dibandingkan dengan 'Ice Age: Continental Drift' secara materi film ini terasa lebih baik, tapi sayangnya tidak ada penekanan serta arah yang jelas dan kuat, tidak ada fokus yang kuat. Seandainya ada “batasan” yang jelas mungkin berbagai aksi konyol yang dilakukan karakter bisa menghasilkan hit yang lebih oke ketimbang aksi bermain-main mereka itu yang terasa terlalu "kasar" untuk terintegrasi kedalam plot dan narasi. Ini bukan seperti yang ingin narasi dan plot dengan kualitas yang lebih baik tapi seandainya ada jalur dan alur yang lebih jelas dan menarik berbagai kekonyolan yang dilakukan oleh karakter dapat terasa lebih menarik. Interaksi antar karakter miskin tik-tok yang lucu, berbagai isu kecil juga terasa mentah dan kosong. Plot petualangan memang berhasil menampilkan berbagai ide tapi kombinasi yang dihasilkan tidak membuat aksi hyperactive karakter konsisten terasa menghibur.
Mereka bilang ini film terakhir di Ice Age film series, semoga ini benar-benar sebuah one last ride. Visually good dengan ide yang cukup menarik, Ice Age: Collision Course memiliki banyak kesempatan untuk tampil lucu dan menghibur sayangnya keceriaan yang mereka hadirkan terasa terlalu biasa dan sebagai sebuah kesatuan kurang fit satu sama lain. Cerita yang terlalu biasa tidak masalah, itu sudah hadir sejak film ketiga, tapi presentasi yang terlalu “polos” dan tidak imajinatif merupakan sebuah masalah yang mengganggu. Narasi yang lelah bersama aksi slapstick dan hyperactive tanpa pesona dan punch yang konsisten menarik, dare I say 'Ice Age: Collision Course' merupakan imitasi paling lemah di antara imitasi Ice Age lainnya. So long The Herd, and Scrat. Segmented.
Sumber
Ice%2BAge%2BCollision%2BCourse-Animation
Ice%2BAge%2BCollision%2BCourse-Animation
Ice%2BAge%2BCollision%2BCourse-Animation
banner-appwal.jpg

 

UCERCLOUD

Subtitle: dl-iceage5clsmcrs-2016.zip | More
Bahasa: Indonesia [Manual]
Format : SUB & SRT
Subtitle By: EveryAgent

Suicide Squad(2016) HDRip


Released
 5 August 2016 (USA)
CountryUSA
Language
English | Japanese | Spanish
Genres
Action | Adventure | Fantasy | Sci-Fi
Director
 David Ayer
Writer
 David Ayer
Starcast
 Will Smith, Jared Leto, Margot Robbie | See full cast & crew »
Rating
imdb-icon.gif 6.7/10
Review:
Akhirnya mereka tiba, salah satu dari sekian banyak highly anticipated film tahun ini, menilik teaser yang ia lempar juga menyandang status dan hype sebagai film pertama di DC Extended Universe yang mencoba sedikit menggeser serious stuff dari panggung utama untuk kemudian tampil a la sebuah pesta berisikan para kriminal “gila”. Lalu di mana pada akhirnya ia berdiri? Apakah ini tampil lebih baik dari “tawuran” yang inkoheren itu? Apakah ini menjadi sebuah “kekacauan” yang menghibur? Suicide Squad: a bumpy but catchy intro for DC anti-hero.
Pejabat Intelijen USA bernama Amanda Waller (Viola Davis) menganggap bahwa negaranya kini harus mempersiapkan “tameng” yang lebih kuat dan lebih mampu untuk menghadang serta melawan jika kelak the “next Superman” muncul kembali. Waller kemudian mengusulkan agar pemerintah membentuk sebuah satuan tugas namun berisikan anggota yang tidak “biasa”, sebuah tim berisikan para meta-humans yang merupakan kriminal dengan berbagai kekuatan super. Ide tersebut dikabulkan karena dengan menaruh “deadly detector” di dalam tubuh para kriminal tadi maka setiap anggota tim yang kemudian bernama ‘Suicide Squad’ itu akan patuh karena status mereka yang nothing to lose.
Deadshot (Will Smith), Diablo (Jay Hernandez), Slipknot (Adam Beach), Killer Croc (Adewale Akinnuoye-Agbaje), Boomerang (Jai Courtney) dan Harley Quinn (Robbie) “dipaksa” untuk menjadi sebuah tim di bawah pengawasan Kolonel Rick Flag (Joel Kinnaman) dan Katana (Karen Fukuhara). Misi mereka adalah berusaha untuk menggagalkan sebuah rencana besar dan berbahaya yang sedang dilakukan oleh Dr. June Moone (Cara Delevingne) yang tubuhnya digunakan oleh roh penyihir jahat bernama ‘Enchantress’. Celakanya itu bukan sebuah tugas yang mudah bagi Suicide Squad, otak kriminal mereka yang liar masih eksis walaupun berada di bawah kendali Waller, dan di sisi lain Joker (Jared Leto) juga punya rencana lain terhadap salah satu anggota Suicide Squad.
Terasa menggelikan memang menggunakan kata “dipaksa” pada sinopsis di atas tadi, tapi begitulah fakta terbentuknya Suicide Squad di sini. Para penonton yang tidak mengenal latar belakang dari para anti-hero ini lewat comic dan animasi televisi di film ini tentu akan berkenalan dengan mayoritas karakter tim untuk pertama kali, tentu saja tidak termasuk Joker. Butuh proses yang sedikit lebih ekstra untuk menciptakan pondasi bagi masing-masing karakter, hal yang berhasil dilakukan dengan baik oleh David Ayer, make spectators “care” about them. Tapi yang menjadi daya tarik terbesar dari bagian pembuka adalah seperti yang disebutkan di awal tadi usaha untuk membuat ‘Suicide Squad’ menjadi film pertama di DC Extended Universe yang terasa “ringan” berhasil dilaksanakan dengan baik, tone down a bit that “dark thingy” lalu menonjolkan kesan “berpesta” lewat presentasi yang terasa berayun dan absurd.
Premis dengan ide yang aneh tadi membantu terbentuknya ruang untuk melakukan “pesta” tadi. Membawa kriminal untuk bertarung demi tercapainya sebuah kedamaian tentu menarik, layaknya film dengan karakter anti-hero penonton terus berayun bersama gesekan antara sisi baik dan sisi buruk karakter, tapi David Ayer cukup mampu memoles pesona karakter secara overall. Yang menjadi masalah adalah meskipun mampu menangani karakter lengkap dengan elemen teknis seperti action sequences ternyata David Ayer sedikit kedodoran ketika berurusan dengan cerita. Ketika tombol “pause” untuk elemen action ditekan film yang menggunakan sedikit rasa war movies ini menjadi terasa sedikit lebih longgar ketimbang bagian pembuka tadi. Ide yang aneh dan beresiko tadi menghasilkan berbagai boomerang bagi ‘Suicide Squad’, ambil contoh setelah origin stories hal selanjutnya yang tersaji tidak jauh lebih menarik, dan tentu saja cerita yang terasa cukup disjointed.
Akibatnya yang ditemukan oleh penonton setelah itu adalah sebuah formulaic superhero yang terasa setengah matang di sektor cerita. Memang cukup kentara efek yang dihasilkan rating yang turun dari R menjadi PG-13 tapi David Ayer (End of Watch, Sabotage, Fury) tetap mampu menciptakan elemen action yang exciting, meskipun sayangnya tidak dengan narasi. Seandainya ‘Suicide Squad’ murni tampil sebagai sebuah action movie mungkin hasilnya akan jauh lebih baik itu karena momen ketika ‘Suicide Squad’ terasa goyah muncul pada bagian di mana karakter tidak berpesta bersama peluru dan senjata. Bagian di mana David Ayer mencoba mendorong maju “isi” dari konflik dan karakter terasa kurang exciting, dari berjalan bersama hingga berbincang di bar, tidak membosankan namun sedikit mengganggu irama cerita. Hasilnya motivasi dari misi utama terasa ambigu dengan pressure yang terasa kurang kuat, penyampaian beberapa poin penting termasuk yang berkaitan dengan DCEU serta proses pengungkapan juga terasa cukup kasar.
Hal tersebut menjadi bukti bahwa tim di balik produksi DC Extended Universe masih belum mampu menyatukan cerita dan teknis dalam komposisi yang pas bagi superhero mereka, termasuk menciptakan petualangan yang tampil serius dan santai secara bersamaan serta seimbang. ‘Suicide Squad’ terasa condong ke arah menjadi sajian yang santai di mana cerita hanya menjadi jalan bagi proses perkenalan karakter anti-hero. ‘Suicide Squad’ memiliki presentasi yang bergelombang dengan nada yang terasa kurang kohesif tapi energi yang karakter tampilkan di layar terasa catchy. Ini memiliki semacam craziness yang nasty tapi catchy, tampil berani menjadi sajian superhero yang tampak tidak penting tapi manis ketika menampilkan berbagai slaying, dari pistol, baseball bat, boomerang, hingga api dan samurai, termasuk beberapa tik-tok antar karakter.
Itu mengapa ‘Suicide Squad’ is a weird movie, cukup kacau ketika bertugas mendongeng tapi di dalam kekacauan tadi eksis berbagai fun yang terasa segar. Ya, segar, ini merupakan kombinasi yang aneh antara cerita, tones, moods, dan pacing yang mampu konsisten membuat karakter miliknya terasa menarik meskipun mereka terasa kurang memikat sebagai sebuah tim. ‘Suicide Squad’ tidak ragu untuk “menghajar” penonton dengan berbagai disjointed moments bersama irama offbeat, terasa semrawut bahkan mungkin membingungkan tapi juga terasa “oddly humorous” yang pada akhirnya akan to be loved or hated by its spectators. Feel tersebut tadi juga banyak terbantu oleh kinerja elemen teknis seperti score gubahan Steven Price yang di sini dipadupadankan bersama soundtrack yang oke, dari classic rock hingga modern hip-hop, too many but well chosen to lighten the load tanpa mengganggu craziness yang ingin ditampilkan. Dan hal-hal positif tadi menjadi lengkap ketika ditambah dengan kinerja beberapa cast terhadap karakter mereka masing-masing.
Di sektor ini David Ayer juga kurang mampu menciptakan keseimbangan, tapi bagi karakter yang mendapat porsi lebih besar mereka berhasil tampil memikat. Will Smith tampil cukup baik sebagai Deadshot, karakter yang memiliki paling banyak backstory, punya cukup banyak kesempatan yang mampu dimanfaatkan dengan baik. Yang kedua adalah Harley Quinn, dibentuk dengan manis oleh Margot Robbie lewat sexy, crazy, and memorable performance terutama pada sifat unpredictable yang Harley Quinn miliki. Dan terakhir Joker, yang di sini membawa masalahnya sendiri. Eksekusi Jared Leto tidak luar biasa terlebih kehadiran Joker di sini terasa kurang kuat tapi “feel” dari Joker mampu ia tampilkan dengan baik, crazy and scary. Karakter lainnya juga terasa menarik tapi tidak coba dieksplorasi sedikit lebih dalam sehingga di beberapa moment yang mereka punya kerap terasa one-dimensional, meskipun peran Cara Delevingne terasa cukup mengecewakan, ‘Enchantress’ punya potensi untuk menjadi main villain yang menarik tapi cerita yang ia bawa terasa underwritten.
Overall, ‘Suicide Squad’ adalah film yang cukup memuaskan. ‘Suicide Squad’ is a weird movie, a jarring mix of genres yang terasa bumpy tapi catchy. Tampil menggunakan rasa B-movie David Ayer punya banyak tugas yang tidak semua berhasil ia laksanakan dengan baik terutama pada sektor cerita yang terasa kurang kohesif. Tapi David Ayer mampu menggabungkan elemen action bersama momen individual yang punya hooks oke bersama dengan humor dalam sebuah kombinasi yang seimbang, and keep it all as straight as possible. Perlu waktu untuk merasa terikat pada cerita dan karakter terlebih karena dramatisasi tidak semuanya terasa mumpuni, namun ketika itu telah tercapai muncul sebuah “pesta” absurd yang terasa aneh namun menarik, sebuah konvensi genre dengan overall result yang mampu menampilkan rasa segar ketimbang those “run-of-the-mill” movies. It’s a pleasure hanging out with these characters. Segmented.
Sumber




FILE SIZE MP4=333MB
[UCERCLOUD]
Subtitle: hd-squdscuad-2016.zip | More
Bahasa: Indonesia [Manual]
Format : SUB & SRT
Subtitle By: Kakek Salto