I Love Her

ANIME AIKATSU

THUNDERSTROM

5 power

NAME IS BLOG

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday, April 23, 2018

Pacific Rim 2: Uprising (2018) HC HDRip

Pacific Rim 2: Uprising (2018) HC HDRip
Image result

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh DeKnight bersama dengan T.S. Nowlin (Maze Runner: The Death Cure, 2017), Emily Carmichael, dan Kira Snyder, jalan cerita Pacific Rim Uprising mengambil latar belakang waktu pengisahan sepuluh tahun semenjak terjadinya Battle of the Breach yang dikisahkan di Pacific Rim. Dikisahkan, Jake Pentecost (John Boyega) – yang merupakan putera dari General Stacker Pentecost (Idris Elba) yang telah meninggal dunia – dipaksa oleh kakak angkatnya, Mako Mori (Rinko Kikuchi), untuk kembali bertugas pada Pan-Pacific Defence Corps sebagai seorang pelatih bagi kadet-kadet muda kesatuan tersebut. Bukan sebuah persoalan mudah. Meskipun memiliki ayah yang telah dianggap sebagai sosok pahlawan bagi kebanyakan manusia di muka Bumi, Jake Pentecost memilih untuk menjalani kehidupan yang jauh berbeda. Walau menerima “paksaan” sang kakak angkat, Jake Pentecost menjalankan tugasnya dengan malas-malasan. Sikap tersebut bahkan semakin menjadi-jadi setelah Jake Pentecost kembali bertemu dengan saingan terberatnya selama menjadi kadet muda terdahulu, Nate Lambert (Scott Eastwood). Namun, setelah kemunculan sebuah robot asing yang menimbulkan kekacauan besar, Jake Pentecost sadar bahwa kemampuannya diperlukan untuk berjuang dan memperbaiki keadaan.

Genre:  Action, Adventure, Fantasy, Science Fiction



Friday, June 9, 2017

WONDER WOMAN (2017) HDTS+SUB INDO




Released
2 June 2017 (USA)

Country
USA | China | Hong Kong

Language
English | German

Genres
Action | Adventure | Fantasy | Sci-Fi | War

Director
Patty Jenkins

Writers
Allan Heinberg (screenplay), Zack Snyder (story by) | 3 more credits »

Starcast
Gal GadotChris PineRobin Wright | See full cast & crew »

Rating
Wonder Woman (2017) on IMDb
Review:
Cukup mengherankan untuk melihat baik DC Films maupun Marvel Studios (atau rumah produksi Hollywood lainnya) membutuhkan waktu yang cukup lama untuk akhirnya menggarap sebuah film pahlawan super dengan sosok karakter wanita berada di barisan terdepan. Terlebih, film-film bertema pahlawan super tersebut saat ini sedang begitu digemari oleh banyak penikmat film sehingga mampu mendatangkan jutaan penonton – khususnya para penonton wanita. Marvel Studios sebenarnya memiliki kesempatan tersebut ketika mereka memperkenalkan karakter Black Widow yang diperankan Scarlett Johansson pada Iron Man 2 (Jon Favreau, 2010) dan The Avengers (Joss Whedon, 2012) yang akhirnya kemudian begitu mencuri perhatian. Entah karena masih kurang percaya diri atau merasa karakter Black Widow belum terlalu menjual, ide pembuatan film solo untuk Black Widow akhirnya terkubur dalam hingga saat ini. Johansson sendiri kemudian mampu membuktikan nilai jualnya ketika ia membintangi Lucy (Luc Besson, 2014), Under the Skin (Jonathan Glazer, 2014), dan Ghost in the Shell (Rupert Sanders, 2017) yang menempatkannya sebagai semacam sosok pahlawan super wanita sekaligus berhasil meraih kesuksesan secara komersial ketika masa perilisannya.
Well… Marvel Studios had their chances and ruined it. Pada tahun 2010, studio pesaingnya, DC Films – yang film-film pahlawan supernya selama ini seringkali menjadi bulan-bulanan para kritikus film dunia selepas trilogi The Dark Knight (2005 – 2012) arahan Christopher Nolan – mengumumkan bahwa mereka akan memproduksi adaptasi film layar lebar dari Wonder Woman. Setelah mengumumkan bahwa Patty Jenkins (Monster, 2003) akan duduk di kursi penyutradaraan dan Gal Gadot (Fast and Furious 6, 2013) akan berperan sebagai karakter ikonik Diana Prince/Wonder Woman, DC Films kemudian secara resmi memulai proses produksi film di tahun 2015. Reputasi film-film pahlawan super milik DC Films sempat membayangi sekaligus memberikan keraguan pada Wonder Woman. Namun, dengan naskah cerita yang solid dari Allan Heinberg, penampilan yang begitu mengikat dari Gadot sekaligus arahan yang sangat kuat dari Jenkins, Wonder Woman mampu menentang segala ekspektasi terhadapnya. Tidak hanya menjadi film terbaik DC Films semenjak The Dark Knight (Nolan, 2008), Wonder Woman adalah salah satu film pahlawan super terbaik yang pernah dirilis Hollywood hingga saat ini.
Dibuka dengan cuplikan adegan yang sempat muncul dalam Batman v Superman: Dawn of Justice (Zack Snyder, 2016) – dimana DC Films menghadirkan karakter Diana Prince/Wonder Woman untuk pertama kali, Jenkins memulai Wonder Woman dengan mengajak penonton berkenalan dengan asal usul sang wanita ajaib tersebut. Merupakan puteri dari penguasa kepulauan Themyscira yang merupakan tempat tinggal bagi kaum Amazon, Queen Hippolyta (Connie Nielsen), perkenalan Diana (Gadot) dengan seorang kapten Angkatan Darat Amerika Serikat, Steve Trevor (Chris Pine), kemudian membawanya bertualang jauh dari tanah kelahirannya. Dari informasi yang diberikan Steve Trevor, Diana mengetahui bahwa dunia sedang menghadapi perang besar yang telah merenggut jutaan nyawa manusia. Merasa bahwa peperangan tersebut disebabkan oleh Ares sang Dewa Perang, dan sebagai kaum Amazon yang bertugas untuk menundukkan Ares, Diana lantas bergabung dengan Steve Trevor dan pasukannya demi menghentikan peperangan.
Penampilan Gadot merupakan kunci mengapa karakter Diana Prince/Wonder Woman tampil begitu memikat. Seperti halnya Hugh Jackman yang memerankan James Howlett/Logan/Wolverine atau Robert Downey, Jr. yang memerankan Tony Stark/Iron Man atau Chris Evans yang memerankan Steve Rogers/Captain America, Gadot jelas terlahir untuk memerankan Diana Prince/Wonder Woman. Tidak seperti Black Widow yang tampil seduktif, Diana Prince/Wonder Woman adalah sosok pahlawan super dengan kepribadian yang terasa begitu lugu – mungkin dapat dideskripsikan sebagai versi wanita dari Steve Rogers/Captain America. Gadot mampu merepresentasikan gambaran tersebut dengan kuat. Meskipun dengan penampilan fisik yang sempurna – dan sentuhan lip gloss yang setiap melapisi bibirnya, kharisma Gadot mampu menjadikan karakter yang ia perankan terasa masih begitu membumi, hangat, dan mudah didekati siapa saja. Deskripsi penampilan yang jelas membuat baik Gadot maupun Diana Prince/Wonder Woman akan sangat mudah untuk disukai atau dicintai atau bahkan diidolai oleh siapa saja.
Tentu saja, penampilan Gadot juga merupakan hasil dari pengarahan yang sangat mengagumkan dari Jenkins. Merupakan film kedua Jenkins setelah Monster yang berhasil memenangkan Charlize Theron sebuah Academy Award, Wonder Woman hadir dengan kekuatan penceritaan dan teknikal layaknya film-film bertema sama arahan para sutradara pria namun dengan sentuhan sensitivitas seorang wanita. Kelebihan tersebut begitu terasa pada kemampuan Jenkins untuk menonjolkan kepribadian setiap karakter yang hadir dalam jalan cerita dan membuat kehadiran mereka terasa begitu esensial, bahkan bagi karakter-karakter dengan jalinan kisah yang minimalis. Hal ini yang membuat pertarungan akhir yang dihadapi Diana Prince/Wonder Woman terasa lebih sebagai sebuah pertarungan ideologis antara dua karakter daripada sebagai sebuah pertarungan untuk menggelorakan penggunaan tata efek visual yang melelahkan seperti yang terjadi dalam adegan pertarungan final pada Batman v Superman: Dawn of Justice.
Perjalanan pengisahan Wonder Woman sendiri bukannya hadir tanpa permasalahan. Dengan karakter Diana Prince/Wonder Woman yang begitu mempesona, karakter-karakter antagonis dalam film ini seringkali terasa kurang begitu memorable. Begitu pula dengan karakter-karakter pendukung yang hadir di sekitaran Diana Prince/Wonder Woman maupun Steve Trevor. Paruh kedua dan ketiga pengisahan film juga memiliki beberapa masalah. Setelah deretan pengenalan karakter dan konflik pada paruh pertama, paruh kedua terasa sedikit hambar dalam pengelolaan ceritanya – meskipun mampu menggali kedalaman hubungan karakter Diana Prince/Wonder Woman dengan Steve Rogers dengan baik. Paruh ketiga yang berisi penyelesaian deretan konflik yang telah dikembangkan pada paruh-paruh pengisahan sebelumnya juga sempat terasa goyah pada beberapa bagian. Meskipun begitu, kelemahan-kelemahan minor tersebut untungnya tidak akan mengurangi kualitas pengisahan Wonder Woman secara keseluruhan yang mampu diproduksi dengan apik.
Berbicara mengenai departemen akting, penampilan Pine sebagai Steve Trevor mampu mendampingi penampilan Gadot dengan baik. Chemistry­-nya yang sangat hangat dengan Gadot membuat hubungan mereka terlihat begitu manis. Chemistry itu pula yang kemudian berhasil menyumbangkan beberapa momen emosional dalam presentasi cerita Wonder Woman. Selain Pine, penampilan-penampilan pendukung dalam film ini hadir dalam kualitas yang solid. Mulai penampilan dari Nielsen dan Robin Wright sebagai dua sosok wanita terdekat bagi karakter Diana Prince/Wonder Woman, David Thewlis, David Huston, Elena Anaya hingga Lucy Davis yang kerap kali berhasil mencuri perhatian. Kualitas penampilan departemen akting yang unggul tersebut yang kemudian berhasil semakin membuat Wonder Woman hadir begitu istimewa. Sebuah pencapaian yang jelas memberikan standar baru (yang cukup tinggi) bagi film-film pahlawan super wanita di masa yang akan datang. An instant classic!

LINK DIJAMIN BISA KARNA SUDAH DIUJI OLEH ADMIN 
FILE SIZE= 348MB
FORMATMP4
LINK
Subtitle: hdts.wonderwoman.2017.zip | More
Bahasa: Indonesia
Format: SUB & SRT
Subtitle By: unickunru

Thursday, June 8, 2017

THE BOSS BABY (2017) WEB-DL+ SUB







Released
31 March 2017 (USA)

Country
USA

Language
English

Genres
Animation | Comedy | Family

Director
Tom McGrath

Writers
Michael McCullersMarla Frazee (based on the book by)

Starcast
Alec BaldwinSteve BuscemiJimmy Kimmel | See full cast & crew »

Rating
The Boss Baby (2017) on IMDb
Review:
Pada awal kemunculannya, DreamWorks Animation sering dipandang sebagai pesaing utama bagi kedigdayaan Pixar Animation Studios dalam menghasilkan film-film animasi. Kini, hampir dua puluh tahun semenjak merilis film animasi layar lebar perdana mereka, Antz (Eric Darnell, Tim Johnson, 1998), DreamWorks Animation terasa telah memilih untuk mengambil arah perjalanan yang berbeda dari pesaingnya tersebut. Ketika rumah produksi milik The Walt Disney Company tersebut masih berusaha untuk tampil dengan ide-ide cerita segar dan terobosan animasi yang menempatkan film-film mereka seperti WALL·E (Andrew Stanton, 2008), Toy Story 3 (Lee Unkrich, 2010) atau Inside Out (Pete Docter, 2015) yang berada di kelas kualitas berbeda dengan kebanyakan film-film animasi milik rumah produksi lainnya, maka DreamWorks Animation justru terlihat semakin nyaman untuk memproduksi film-film yang murni tampil hanya untuk menghibur para penontonnya seperti Turbo (David Soren, 2013), Penguins of Madagascar (Eric Darnell, Simon J. Smith, 2014) atau Trolls (Mike Mitchell, 2016). Bukan keputusan yang buruk, tentu saja, khususnya ketika mengingat peta persaingan yang semakin ketat dengan kemunculan banyak rumah produksi animasi lain dalam beberapa tahun belakangan.
Film terbaru produksi DreamWorks Animation, The Boss Baby, juga mengikuti pakem film hiburan yang diterapkan rumah produksi tersebut. Diarahkan oleh Tom McGrath (Madagascar 3: Europe’s Most Wanted, 2012), The Boss Baby mengisahkan tentang kerisauan hati seorang anak laki-laki, Tim Templeton (Miles Christopher Bakshi), ketika kedua orangtuanya, Ted (Jimmy Kimmel) dan Janice Templeton (Lisa Kudrow), membawa pulang seorang bayi (Alec Baldwin) yang kemudian mereka sebut sebagai adik bagi Tim. Perhatian kedua orangtua Tim yang awalnya hanya tercurah pada dirinya secara perlahan mulai terbagi pada sang bayi yang jelas membuat Tim merasa tidak senang. Curiga pada kehadiran sang bayi yang begitu tiba-tiba, Tim mulai menyelidiki asal-usul sang bayi dan menemukan bahwa bayi tersebut bukanlah sesosok bayi biasa dengan sebuah agenda rahasia yang menyertai kedatangannya di rumah keluarga Templeton.
Tidak dapat dipungkiri, naskah cerita The Boss Baby yang ditulis oleh Michael McCullers (Baby Mama, 2008) berdasarkan buku berjudul sama karya Marla Frazee menyimpan beberapa momen komedi yang kemudian berhasil dieksekusi McGrath dengan baik dan mampu menghasilkan gelak tawa penontonnya. Karakter The Boss Baby – yang digambarkan sebagai sosok bayi yang berpakaian dan berbicara layaknya seorang pria dewasa – sukses dihidupkan oleh vokal Baldwin. Dengan kelihaian vokalnya, Baldwin menjadikan The Boss Baby sebagai nyawa penceritaan film animasi ini yang membuat banyak bagian terasa begitu hidup sekaligus menyenangkan untuk diikuti. Sebagai seorang anak laki-laki yang penuh kecurigaan dengan kehadiran sosok baru yang merebut perhatian orangtuanya, Bakshi juga mampu membuat karakter Tim Templeton menjadi sosok yang menarik – bahkan kadang emosional pada beberapa kesempatan. Penampilan vokal keduanya hadir dengan chemistry yang dinamis dan membuat kedua karakter utama tersebut begitu mudah untuk disukai kehadirannya. Dukungan vokal dari Kimmel, Kudrow dan Steve Buscemi juga cukup memberikan kontribusi positif pada film ini meskipun dengan karakter-karakter yang terlalu minim porsi penceritaannya.
Meskipun begitu, terlepas dari beberapa keberhasilan tersebut, naskah cerita garapan McCullers serta pengarahan dari McGrath menyimpan cukup banyak permasalahan. Jalan cerita The Boss Baby seringkali diwarnai dengan ketidakkonsistenan pada pengembangan konflik maupun plot pengisahannya. Banyak bagian cerita yang muncul atau menghilang begitu saja tanpa pernah diberikan penceritaan yang lebih baik. Selain karakter The Boss Baby dan Tim Templeton, karakter-karakter pendukung pada jalan penceritaan film juga banyak yang hadir tanpa penggalian karakter yang kuat – khususnya karakter antagonis Francis E. Francis (Buscemi) yang memiliki potensi begitu kuat untuk menjadi sosok antagonis yang memorable namun gagal mendapatkan sentuhan penceritaan yang lebih baik. Hasilnya, daripada hadir sebagai sebuah film yang mampu memiliki penceritaan yang lebih berwarna, The Boss Baby terasa begitu datar dan menjemukan ketika kedua karakter utamanya tidak dijadikan fokus dalam pengisahannya.
Pengarahan McGrath terhadap jalan penceritaan The Boss Baby yang terasa begitu lamban, khususnya pada paruh kedua film, juga cukup mempengaruhi kelancaran film dalam bercerita. Film yang awalnya mampu dibuka dengan cukup baik dengan pengisahan konflik antara dua karakter utama yang tereksekusi meyakinkan kemudian terasa berjalan di tempat akibat ritme pengisahan yang seperti terasa kebingungan untuk menentukan arah penceritaan selanjutnya. Beruntung, paruh ketiga film yang banyak diisi dengan adegan aksi berhasil mengangkat kembali ritme penceritaan The Boss Baby. Dari kualitas produksi sendiri, The Boss Baby menawarkan tampilan yang tidak mengecewakan. Pewarnaan yang cerah jelas sangat mendukung film ini menjadi terlihat lebih atraktif. Walau akhirnya hadir dengan pengisahan yang cukup bermasalah, The Boss Baby setidaknya masih menyimpan beberapa momen yang cukup mampu memberikan hiburan pada penontonnya. Dan mungkin hal tersebut sudah cukup bagi DreamWorks Animation


LINK DI JAMIN BISA KARNA SUDAH DI UJI OLEH ADMIN

FILE SIZE= 293MB

FORMAT MP4
LINK
(SOLIDFILES)

Subtitle: dl.thebossbabby.2017.zip | More
Bahasa: Indonesia
Format: SUB & SRT
Subtitle By: kanga6us

Sunday, June 4, 2017

DOWNLOAD THE FATE OF THE FURIOUS (2017) HC HDRIP SUBTITLE INDONESIA




Released
14 April 2017 (USA)
CountryUSA
Language
English
Genres
Action | Crime | Thriller
Director
F. Gary Gray
Writers
Chris MorganGary Scott Thompson (based on characters created by)
Starcast
Vin DieselJason StathamDwayne Johnson | See full cast & crew »
RatingThe Fate of the Furious (2017) on IMDb
7.2/1071,759 votes
Review:
Percaya atau tidak, seri perdana The Fast and the Furious arahan Rob Cohen yang dirilis tahun 2001 mendasarkan kisahnya pada sebuah artikel karya jurnalis Kenneth Li berjudul Racer X yang dirilis pada Mei 1998 di majalah Vibe. Artikel yang mengupas tentang sekelompok pembalap yang secara rutin melakukan aksinya di jalanan kota New Yok, Amerika Serikat tersebut kemudian memberikan landasan realitas penceritaan pada beberapa seri awal The Fast and the Furious. Namun, seiring dengan pertambahan sekuel sekaligus nilai komersial yang dihasilkannya, film-film dalam rangkaian penceritaan The Fast and the Furious lantas bergerak menjadi sebuah film yang menjunjung penuh deretan adegan aksi bombastis layaknya (bahkan terkadang melebihi) adegan-adegan aksi dalam film-film pahlawan super. Tentu saja, dengan minat penonton yang cenderung terus meningkat – khususnya setelah Fast and the Furious 7 (James Wan, 2015) yang membukukan kesuksesan komersial sebesar lebih dari US$1.5 milyar dari perilisannya di seluruh dunia – para produser seri film ini jelas akan terus bersiap untuk memuaskan setiap penggemar seri The Fast and the Furious dengan tampilan aksi yang semakin terlihat fantastis.
Dua tahun semenjak perilisan Fast and Furious 7 (atau Furious 7 atau Fast 7 – bergantung dimana lokasi negara perilisannya) dan untuk pertamakalinya semenjak kematian tragis Paul Walker yang memerankan salah satu karakter sentral, Brian O’Conner, seri film The Fast and the Furious melanjutkan perjalanannya lewat Fast and Furious 8. Dikisahkan, Dominic Toretto (Vin Diesel) yang baru saja menikahi Letty Ortiz (Michelle Rodriguez) dan sedang berbulan madu di Kuba, secara tidak sengaja bertemu dengan seorang teroris dunia maya yang dikenal dengan nama Cipher (Charlize Theron). Tanpa disangka, setelah pertemuan tersebut, Dom malah memilih untuk mengkianati Letty sekaligus para sahabatnya, Luke Hobbs (Dwayne Johnson), Roman Pearce (Tyrese Gibson), Tej Parker (Chris Bridges) dan Ramsey (Nathalie Emmanuel), untuk kemudian bergabung dengan Cipher dan menyusun sebuah rencana teror untuk memicu sebuah perang nuklir. Bekerjasama dengan agen rahasia Frank Petty (Kurt Russel) dan Eric Reisner (Scott Eastwood), Letty bersama mantan rekan-rekan Dom memulai aksi mereka untuk menyelamatkan dunia dari berbagai rencana jahat Dom dan Cipher.
Juga dirilis dengan judul The Fate of the Furious atau Fast 8 – lagi, bergantung dimana lokasi negara perilisannya, Fast and Furious 8 masih melanjutkan tradisi seri-seri sebelumnya dimana kisah persahabatan serta tantangan yang hadir dalam hubungan karakter-karakter dalam film ini menjadi pendamping bagi deretan adegan aksi yang dipenuhi tampilan efek visual spektakuler yang menjadi sajian utama sekaligus daya tarik film. F. Gary Gray (Straight Outta Compton, 2015), yang menggantikan posisi Wan untuk duduk di kursi sutradara, sepertinya berusaha keras untuk menyaingi tampilan aksi yang dihadirkan Wan dalam seri sebelumnya. Berhasil? Cukup berhasil. Dengan pengalamannya mengarahkan remake The Italian Job (2003) yang juga menampilkan banyak adegan balapan – serta dibintangi Theron dan Jason Statham yang turut hadir dalam film ini – Gray mampu mengeksekusi deretan adegan aksi dalam Fast and Furious 8 dengan baik. Kental dibungkus dengan tampilan efek visual, beberapa adegan film ini bahkan mampu menghadirkan momen-momen menegangkan bagi para penontonnya.
Tidak banyak hal yang dapat digali dari kualitas penceritaan yang digariskan Chris Morgan – yang juga merupakan penulis naskah Fast and Furious 7. Seperti seri sebelumnya, dinamika pengisahan arahan Morgan tidak banyak berubah. Tantangan yang diberikan kepada hubungan persahabatan yang terjalin antara karakter-karakternya masih terasa generik dan tidak berkembang dengan terlalu baik. Kehadiran karakter Chiper sebagai karakter antagonis utama – dan merupakan karakter antagonis wanita pertama dalam seri film ini – sekilas terlihat menarik pada awalnya. Namun, seiring dengan perjalanan penceritaan film, karakter Chiper tidak diberikan ruang pengisahan yang terlalu luas yang membuat karakternya kemudian juga menjadi terasa hambar. Arahan Gray yang mengedepankan kepentingan tampilan efek visual juga seringkali terasa menghalangi penceritaan film untuk mampu tampil berkisah dengan lebih kuat. Memang tidak ada yang mengharapkan kualitas cerita yang benar-benar prima dari sebuah film dalam seri The Fast and the Furious. Namun lemahnya pengisahan film ini jelas memberikan kontribusi yang besar terhadap munculnya banyak momen-momen membosankan dalam Fast and Furious 8.
Penampilan para jajaran pemeran film juga masih berada dalam kapasitas akting yang telah biasa mereka tampilkan dalam film-film sebelumnya. Diesel (dan Rodriguez) masih hadir dengan ekspresi wajah yang datar dan serupa dalam tiap adegan. Begitu pula dengan Bridges dan Gibson yang selalu siap sedia menjadi penyuplai humor dalam film ini dengan dialog-dialog singkat yang diberikan pada mereka. Theron tampil cukup lugas – meskipun setelah melihat penampilan garangnya lewat Mad Max: Fury Road (George Miller, 2015) dan The Huntsman: Winter’s War (Cedric Nicolas-Troyan, 2016) penampilannya sebagai Cipher dalam film ini menjadi terkesan terlalu biasa. Johnson dan Statham justru tampil cukup menonjol dengan chemistry mereka yang begitu hangat sekaligus sangat, sangat meyakinkan. Penampilan Helen Mirren dan Luke Evans juga mampu mencuri perhatian meskipun dalam komposisi penceritaan yang begitu singkat. Secara keseluruhan, Fast and Furious 8 masih akan mampu menghibur para penggemar lamanya sekaligus banyak penikmat film-film aksi dalam skala luas. Meskipun begitu, dengan stagnannya kualitas penulisan cerita film, seri film The Fast and the Furious jelas terasa cukup mengkhawatirkan di masa yang akan mendatang.





LINK DI JAMIN BISA KARNA SUDAH DI UJI/TES OLEH ADMIN
FILE SIZE= 381MB 
FORMAT MP4
LINK
Subtitle: hchdrip.thefateoffurious.2017.zip | More
Bahasa: Indonesia
Format: SUB & SRT
Subtitle By: donny_doublen

LEGO BATMAN MOVIE (2017) BLUERAY+ SUB INDO

THE LEGO BATMAN MOVIE
(2017)

Quality: BRRip


Released
10 February 2017 (USA)
CountryDenmark | USA
Language
English
Genres
Animation | Action | Adventure | Comedy | Family
Director
Chris McKay
Writers
Seth Grahame-Smith (screenplay), Chris McKenna (screenplay) | 8 more credits »
Starcast
Will ArnettMichael CeraRosario Dawson | See full cast & crew »
RatingThe LEGO Batman Movie (2017) on IMDb
7.5/1045,613 votes
Review:
The LEGO Movie arahan Phil Lord dan Christopher Miller muncul menjadi salah satu film animasi terbaik yang dirilis pada tahun 2014 lalu dengan tampilannya yang begitu berwana, naskah cerita yang diisi dialog serta karakter yang jenaka serta sebuah lagu tema yang berhasil menempel di kepala setiap penontonnya – sekaligus membuahkan nominasi Best Original Song pada ajang The 87th Annual Academy Awards. Tahun ini, penonton mendapatkan sebuah subseri dari The LEGO Movie yang dibintangi oleh salah satu karakter pahlawan super yang sempat muncul di film tersebut, Batman. Diarahkan oleh Chris McKay – yang sebelumnya bertugas sebagai salah satu penata gambar pada The LEGO Movie, The LEGO Batman Movie menjanjikan pengalaman yang sama menyenangkannya dengan film pertama seri ini sekaligus kehadiran Batman serta rekan-rekan protagonis dan antagonisnya dalam nada penceritaan yang jauh dari kesan kelam seperti yang sering dibawakan film-film Batman selama ini. Because… Why so serious, right?
Tiga tahun semenjak menyelamatkan The LEGO Universe seperti yang dikisahkan pada The LEGO Movie, Batman (Will Arnett) terus mengisi kesehariannya dengan melawan kejahatan di Gotham City. Namun, Batman kemudian merasa keberadaan dirinya menjadi tidak berarti ketika Komisaris Besar Kepolisian yang baru, Barbara Gordon (Rosario Dawson), menginginkan agar kepolisian dan masyarakat Gotham City untuk tidak terlalu bergantung pada keberadaan Batman dalam menjaga keamanan kota. Sementara itu, Joker (Zach Galifianakis) sedang menyusun rencana untuk membalaskan dendamnya kepada Batman. Dengan mengumpulkan deretan penjahat legendaris seperti Harley Quinn (Jenny Slate), Riddler (Conan O’Brien), Bane (Doug Benson), Catwoman (Zoë Kravitz) hingga Lord Voldemort dari seri film Harry Potter (Eddie Izzard) dan Sauron dari trilogi The Lord of the Rings (Jemaine Clement), Joker mulai mengambil alih dan menghancurkan Gotham City. Merasa dirinya terpanggil kembali dan dibutuhkan, Batman kemudian mengumpulkan pasukannya dan mulai menjalankan aksi untuk menyelamatkan Gotham City.
Seperti halnya The LEGO Movie, naskah cerita yang digarap Seth Grahame-Smith, Chris McKenna, Erik Sommers, Jared Stern dan John Whittington masih mengutamakan plot kisah mengenai pentingnya kebersamaan dan kerjasama antara satu dengan yang lain. Maskipun masih menawarkan jalan pengisahan yang diisi dengan dialog-dialog yang sukses tampil menghibur, keberadaan banyaknya karakter dalam jalan cerita The LEGO Batman Movie memang cukup memberikan beban tersendiri dalam mengikuti kisahnya. Paruh pertama film, khususnya, terasa berjalan dengan tempo yang sedikit lamban akibat usaha untuk memperkenalkan deretan karakter-karakternya. Beruntung, secara perlahan, The LEGO Batman Movie kemudian berhasil meningkatkan pacuan penceritaan dan akhirnya tampil dengan ritme pengisahan yang tepat untuk dinikmati, baik sebagai sebuah komedi maupun sebagai sebuah film pahlawan super.
Dari departemen produksi, warna-warna terang dan bernuansa cerah, yang jelas tidak akan didapatkan penonton dari film-film Batman manapun, juga masih mengisi film sekaligus menjadi daya tarik tersendiri bagi film ini. Tatanan musik garapan Lorne Balfe juga memberikan atmosfer pengiring yang tepat bagi setiap adegan The LEGO Batman Movie – memberikan sajian ketegangan a la film-film pahlawan super di banyak adegan aksi dan, secara mengejutkan, mampu memberikan elemen emosional ketika naskah cerita film ini memberikan pengisahan yang menyentuh. Penataan gambar film ini juga diperlakukan seperti layaknya sebuah film pahlawan super. Memberikan pengalaman menyaksikan sebuah film animasi yang cukup menyegarkan.
Namun, poin kesuksesan terbesar dari naskah cerita The LEGO Batman Movie adalah kemampuan para penulis naskahnya untuk memasukkan berbagai referensi tentang Batman – baik dari komik, serial televisi hingga seri film Batman – secara cerdas ke dalam rangkaian konflik maupun dialog yang disajikan dalam film ini. Para pembuat The LEGO Batman Movie jelas merupakan kumpulan para penggemar berat Batman. Bersama, mereka menggali secara mendalam berbagai informasi tentang pahlawan super tersebut dan menyajikannya dengan sentuhan hiburan yang kuat. Begitu banyaknya referensi tentang Batman, The LEGO Batman Movie dipastikan akan dapat memberikan pengalaman yang berbeda bagi para penontonnya ketika mereka menyaksikan film ini untuk kedua atau ketiga (atau keempat atau kelima atau keenam dan seterusnya…) kalinya. Mereka yang bukan penggemar Batman rasanya juga tidak lantas akan merasa dialienasi oleh kuatnya referensi budaya Batman dalam naskah cerita film ini. Ada begitu banyak unsur hiburan yang sukses disajikan di sepanjang 104 menit durasi perjalanan film ini.
The LEGO Batman Movie juga diperkuat oleh barisan pengisi suara yang mampu menjadikan karakter-karakter mereka bagitu hidup dan menarik untuk diikuti kisahnya. Sebagai Batman, vokal Arnett tampil sangat meyakinkan. Karakternya yang digambarkan sebagai versi parodi dari sosok Bruce Wayne/Batman yang eksentrik dan penyendiri mampu disajikan dengan sempurna. Galifianakis juga cukup memikat perhatian sebagai Joker, seperti halnya Michael Cera yang menjadikan Robin sebagai sosok yang cute atau Ralph Fiennes yang menjadikan karakter pendamping setia Bruce Wayne/Batman, Alfred Pennyworth, tampil dengan karakterisasi yang lebih luas dari yang biasa ditampilkan dalam film-film Batman lainnya. Kesuksesan penggarapan kualitas secara keseluruhan The LEGO Batman Movie tersebut dengan mudah menjadikan film ini sebagai film Batman terbaik sejak The Dark Knight (Christopher Nolan, 2008). Dan dengan komposisi komedi yang cerdas, The LEGO Batman Movie jelas juga menjadi film Batman paling menghibur di sepanjang sejarah adaptasi film dari komik buatan DC Comics tersebut.



+

Link di jamin aktif karna sudah di tes oleh ADMIN 

FILE SIZE= 328MB
FORMAT MP4


LINK
UCERCLOUD



Subtitle: br.thelegobatmanmv.2017.zip | More
Bahasa: Indonesia
Format: SUB & SRT
Subtitle By: Agent Nas







Friday, November 18, 2016

Pete’s Dragon (2016) BluRay+SUB INDO


Released
14 September 2016 (Indonesia)
Country USA
Language
English
Genres
Adventure | Family | Fantasy
Director
David Lowery
Writers
David Lowery (screenplay), Toby Halbrooks (screenplay) | 3 more credits »
Starcast
Bryce Dallas Howard, Robert Redford, Oakes Fegley | See full cast & crew »
Rating
7.2/10
Review:
Disney belum berhenti untuk bercerita tentang believing in wonder di tahun ini. Di awal tahun kita sudah bertemu dengan ‘Zootopia’ bersama seekor kelinci yang berjuang meraih mimpinya, yang kemudian disusul oleh ‘The Jungle Book’ dan ‘Finding Dory’. Kini ‘Pete’s Dragon’ hadir mencoba meneruskan pencapaian tadi, sebuah redesign yang sehat pada a tale of a magic tentang kisah persahabatan antara seorang manusia dengan seekor naga dengan kombinasi heart, semangat, dan visual yang menyenangkan. It’s ‘The Good Dinosaur’ meets ‘The Jungle Book’ with good heart and magic.
Grace Meacham (Bryce Dallas Howard), seorang penjaga hutan, tidak percaya dengan cerita sang ayah, Mr. Meacham (Robert Redford), tentang naga yang hidup di dalam hutan, sampai ketika ia bertemu dengan Pete (Oakes Fegley). Remaja berusia 10 tahun itu mengatakan selama ini ia diasuh dan dilindungi oleh seekor naga hijau bernama Elliot. Pete yang selama ini bersembuyi dari interaksi sosial dengan manusia lain keluar dari hutan untuk meminta bantuan dari Grace. Hutan tempat ia dan Elliot selama ini tinggal sedang terancam aksi dari para penebang hutan yang dipimpin pria bernama Gavin (Karl Urban).
Disney membuat keputusan yang tepat di bangku sutradara, mereka memilih sutradara indie David Lowery (Ain’t Them Bodies Saints) yang berhasil menampilkan pesona yang dimiliki cerita. Memang ‘Pete’s Dragon’ pada akhirnya tidak terasa terlalu “flashy” tapi film ini berhasil menampilkan sebuah hiburan family adventure yang baik. Bagus visi yang David Lowery gunakan atau terapkan di film ini, setiap bagian dibuat agar tampak minimal tapi memberikan hasil yang tidak minimal. ‘Pete’s Dragon’ mencoba menampilkan materi yang sedikit serius, daya tarik dramatis terjaga tapi tidak terasa berat dan berlebihan, dan di sisi lain ada humor yang oke mengisi kisah dengan durasi 102 menit ini. Kombinasi tadi kualitasnya terjaga dengan baik hingga akhir, koneksi dan pesona tentang persahabatan dan keluarga terasa oke sambil membawa penonton menyaksikan Pete yang masuk kedalam lingkungan baru yang mengejutkannya dan membuat rasa ingin tahunya meluap.
Hal menarik lain dari ‘Pete’s Dragon’ adalah sebagai film dengan fantasi yang merupakan salah satu temanya usaha membuat penonton terpukau dengan visual tidak terlalu mendominasi. Pete’s Dragon punya drama sebagai central dengan nuansa yang terasa nyaman dan tenang, David Lowery mampu membumbui narasi klasik yang ia gunakan untuk berbicara tentang childhood dan reality. Penonton dewasa akan menemukan hal-hal manis dari sebuah film Disney bersama nostalgia masa anak-anak yang polos dan naif, sementara penonton muda akan terpesona dengan persahabatan antara Pete dan Elliot yang terasa menyenangkan diikuti. David Lowery juga berhasil menggambarkan hal-hal yang sedikit lebih “gelap” dengan baik, tidak membuat materi seperti kehilangan dan kesepian “mengganggu” daya tarik cerita dan menghasilkan kombinasi menarik antara family drama fantasy dengan sincerity yang menarik.
Jika harus memilih hal terbaik dari film ini maka yang jadi pilihan adalah cara sincerity mengisi cerita. Ini sederhana, masalah dan isu juga klasik, tapi ‘Pete’s Dragon’ punya kelembutan yang tidak sederhana. Sangat suka cara kasih sayang mengisi cerita, karakter manusia punya “heart” yang menarik dan Elliot juga memiliki hal yang sama. Itu membuat ancaman di plot yang klise itu tetap terasa menarik, karena kamu ingin karakter-karakter ini tetap merasakan kebahagiaan. Fokus film ini juga oke, tidak overuse menggunakan usaha menyelamatkan Elliot tapi juga arena bagi Pete belajar tentang dunia, dari rasa ingin hidup bersama manusia tapi juga takut kehilangan teman baiknya, Elliot. Memang di beberapa bagian ‘Pete’s Dragon’ terasa lambat dan kurang begitu exciting tapi cerita dan karakter tetap terus tumbuh menjadi lebih menarik. Dan hal itu juga berkat elemen teknis yang berhasil membuat Elliot menjadi karakter yang punya “heart” yang menarik.
‘Pete’s Dragon’ punya elemen teknis yang berhasil membuat elemen fantasi miliknya jadi terasa enak untuk dinikmati, selain juga punya peran dalam membuat drama juga terasa semakin menarik. Thrill yang dihasilkan visual juga terasa oke, David Lowery cermat dalam membangun lapisan dan irama untuk mempermainkan antisipasi penonton, dan momen ketika Elliot dan Pete terbang lalu kemudian berputar-putar di awan merupakan momen visual terbaik dari ‘Pete’s Dragon’. Dibantu dengan cinematography dan scoring yang juga oke kisah tentang “keajaiban” ini juga punya visual effects yang manis pada cara mereka membentuk Elliot menjadi karakter animated tapi dengan rasa cartoonish yang tidak berlebihan. Bentuk fisiknya tampak oke dan karakteristik yang ditanamkan padanya membuat Elliot menjadi sosok baik hati yang menyenangkan, lebih dari sekedar hewan peliharaan Elliot merupakan naga yang membuat kamu ingin memeluknya.
Dilengkapi dengan kinerja cast yang tidak kalah memikat dalam menyuntikkan kehangatan ke dalam cerita (Bryce Dallas Howard is good) David Lowery berhasil membentuk ‘Pete’s Dragon’ menjadi family drama and fantasy yang menyenangkan. Sesuatu yang familiar telah eksis sejak sinopsis tapi ‘Pete’s Dragon’ punya semangat yang segar, terasa fluid dalam menampilkan imajinasi yang tampil minimalis dan oke dalam membangun drama berisikan pesan seperti loyalty dan melindungi sosok yang kamu sayangi. Di beberapa bagian memang terasa sedikit lambat tapi tanpa unsur musical cerita dan karakter terus tumbuh menjadi menarik bersama presentasi visual yang memikat di dalam kisah tentang believing in wonder ini. Tidak terlalu “flashy” ‘Pete’s Dragon’ merupakan film yang menyenangkan untuk ditonton bersama keluarga.
Sumber

FILE SIZE : 308 MB
MP4
LINK

Friday, November 11, 2016

Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children (2016) HDRip+SUB INDO



Released
30 September 2016 (Indonesia)
Country USA | UK | Belgium
Language
English
Genres
Adventure | Drama | Family | Fantasy
Director
Tim Burton
Writers
Ransom Riggs (based upon the novel written by), Jane Goldman (screenplay)
Starcast
Eva Green, Asa Butterfield, Samuel L. Jackson | See full cast & crew »
Rating
7.1/10
Review:
Sebelum dipoles oleh Christopher Nolan dan kemudian dibawa bertemu berbagai “kebisingan” oleh Zack Snyder karakter Batman dan dunia yang ia punya di layar lebar pernah identik dengan gloomy but artsy, a wicked world of misfits and psycho yang bergembira layaknya sebuah fashion show, style over substance di tangan Tim Burton yang gemar bergembira bersama horror, playfulness, dan tentu saja visual. Mengacu pada tiga hal terakhir tadi dapat dikatakan kombinasi novel ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ dan Tim Burton merupakan match made in heaven, sebuah fantasy berisikan tragedi dan simpati dipenuhi karakter unik dan aneh seperti kombinasi antara Harry Potter dan X-Men. Apakah ini “match” atau“miss”? Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children: a robotic fantasy.
Jacob “Jake” Portman (Asa Butterfield) memiliki ikatan yang erat dengan kakeknya Abraham “Abe” Portman (Terence Stamp), sosok yang selalu membacakan dongeng sebelum tidur tentang sebuah rumah berisikan anak-anak yang memiliki kekuatan unik di bawah pimpinan wanita bernama Miss Alma LeFay Peregrine (Eva Green). Suatu ketika musibah menimpa Abe dan kemudian meninggalkan Jake dalam kondisi sepi serta terus dirundung mimpi buruk, dipaksa untuk bertemu psikiater bernama Dr. Golan (Allison Janney) untuk dapat mengatasi kesedihannya. Tapi suatu ketika berawal dari sebuah postcards rasa ingin tahu Jake terhadap kebenaran dari dongeng yang selalu Abe ceritakan itu menjadi besar, bersama sang ayah Franklin (Chris O’Dowd) dia kemudian menuju Wales berharap dapat menemukan rumah Miss Peregrine.
Rumah itu masih ada namun telah hancur akibat bom dari tentara Jerman pada tanggal 3 September 1943. Di sana Jake bertemu dengan Emma (Ella Purnell), remaja aerokinetic yang dapat memanipulasi udara, dan setelah pertemuan itu berbagai hal aneh kemudian datang menghampiri Jake salah satunya terkait ruang dan waktu yang ia jalani. Bertemu dengan sosok yang ia cari serta teman baru yang unik dari Bronwyn (Pixies Davies), Olive (Lauren McCrostie), hingga Enoch (Finlay MacMillan), Jake kemudian belajar tentang time loops yang digunakan oleh para Ymbrynes untuk melindungi anak asuhnya dari makhluk menyerupai monster bernama Hollowgast atau The Hollows, kelompok yang di bawah pimpinan Mr. Barron (Samuel L. Jackson) sangat membutuhkan para peculiar children agar dapat memulihkan eksperimen mereka.
Seperti yang telah disinggung di awal tadi berbicara tentang materi cerita ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ seperti “diciptakan” untuk dibentuk oleh Tim Burton bersama imajinasi miliknya, dari cerita yang unik dan karakter yang aneh termasuk peluang besar bermain di sektor visual berkat ruang bermain yang leluasa untuk mengeksplorasi segala macam “keanehan” yang terkandung di dalamnya. Meskipun memulai semuanya dengan cukup goyah cerita yang ditulis oleh Jane Goldman (Kick-Ass, X-Men, Kingsman) berdasarkan novel karya Ransom Riggs itu berhasil menemukan pijakannya, dan di tangan Tim Burton petualangan penuh fantasi itu berhasil menciptakan semacam koneksi dengan penonton di awal. Pencapaian tersebut harus diakui berasal dari penggambaran di awal pada ikatan antara Jake dan Abe yang terasa manis, penonton menjadi tertarik pada apa yang tersimpan di balik dongeng tersebut. Namun yang menarik adalah dengan materi yang tampak kompleks film ini justru mencoba menjadi simple.
Cukup menarik mendapati Tim Burton dan timnya justru memilih untuk membuat kisah yang dipenuhi dengan permainan ruang dan waktu hingga kekuatan super ini agar terasa simple. Itu sebuah visi yang oke, Tim Burton seolah ingin menunjukkan semacam sense of wonder tapi tanpa mengisi cerita dengan berbagai punches yang berlebihan, ia tetap bermain dengan rasa horror andalannya dan juga simpati pada karakter namun lebih menggunakan visual storytelling ketimbang narasi untuk menggambarkan kegelapan dan kesedihan yang terkandung di dalam cerita. Hal tersebut berjalan dengan baik di awal, dengan tujuan yang jelas sejak awal aksi Jake mengeksplorasi “fantasi” yang ditanamkan oleh sang kakek padanya itu terasa menarik, meskipun aliran cerita tidak mulus tapi pesona tetap tumbuh secara perlahan. Hal tersebut semakin baik ketika Jake telah bertemu dengan peculiars, dibentuk dengan Burton-esque mereka karakter yang sangat menarik seperti perpaduan antara penyihir dari Harry Potter yang bertugas layaknya anggota X-Men.
Jika berbicara tentang pesona sesungguhnya pesona yang dimiliki oleh karakter ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ terasa cukup oke ketika berjumpa penonton dan tidak terasa buruk ketika cerita telah berakhir, namun hal tersebut tidak terjadi di cerita. Akibat memilih bermain “sederhana” tadi daya tarik konflik tidak menunjukkan progress yang menarik, menyaksikan Jake beradaptasi dengan teman barunya serta berbagai tensi di dalam hubungan mereka terasa menarik tapi goal yang sejak awal telah ditetapkan seperti tidak ikut berjalan bersama Jake, ia berhenti di sepertiga awal dan baru muncul kembali menjelang akhir. Tidak terdapat eksposisi yang berlebihan di dalam narasi menjadi penyebabnya, konsekuensi logis dari perpindahan ruang dan waktu itu bukan masalah yang mengganggu tapi akibat tidak dieksplorasi secara lebih mendalam ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ tidak punya pressure yang menarik, ia berjalan dengan sangat tenang sehingga miskin thrill yang berkualitas.
Itu mengapa ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ terasa seperti sebuah “robotic” fantasy, segala macam masalah yang ia mulai berhasil ia selesaikan dengan baik tapi tanpa proses dengan rasa yang dipenuhi dengan bumbu yang nikmat dan “menggoyang lidah”. Cerita ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ terasa seperti rasa makanan rumah sakit yang kita kenal pada umumnya, berhasil membuat kenyang namun karena membatasi atau bahkan tidak ada garam, gula dan mungkin lemak di dalamnya jadi terasa hambar dan well, cukup membosankan. Sosok Tim Burton yang menyutradarai film seperti Batman, Beetlejuice, atau Edward Scissorhands pasti akan mencoba untuk “mengasah” materi yang ia punya, namun Tim Burton sekarang ini di sektor cerita lebih sering bermain aman dengan imajinasinya, sama seperti Dark Shadows dan Big Eyes dia berhasil menarik minat penonton terhadap cerita dan karakter, menciptakan kesan “istimewa” namun kemudian tidak diasah dan berjalan tidak dengan kecepatan penuh.
Tentu saja tidak mengharapkan Tim Burton menciptakan berbagai kehebohan yang luar biasa di sini, namun jika dibumbui sedikit lebih jauh investasi penonton pada karakter dan konflik mungkin dapat menjadi lebih besar dan akibat impact yang dihasilkan dari petualangan Jake di dunia fantasi itu mungkin dapat terasa lebih menarik. Karena sudah terlalu sering bermain dengan fantasi dan imajinasi Tim Burton kurang berhasil menciptakan kesan “awe” yang terasa impresif di sini, karakter dan cerita perlahan terasa formulaic dan mechanical. Ketika berurusan dengan emosi tidak ada bobot yang oke, horror tidak punya terror yang kuat, dan unsur fantasi tidak punya kesan menakjubkan yang terasa memukau. Tidak heran energi dan semangat yang menarik di awal perlahan justru digunakan untuk berusaha menyambung setiap titik di dalam narasi, bersama dengan visual yang mumpuni namun editing yang kurang oke menghadirkan usaha eksposisi yang membuat cerita jadi terasa cukup sesak sehingga petualangan fantasi itu berubah menjadi sebuah permainan yang hanya sebatas ingin menyelesaikan misi saja.
Ya, sekali lagi, ‘Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children’ tidak punya impact yang kuat ketika ia telah menyelesaikan kisah yang terasa menarik itu dan berjalan dalam durasi 127 menit sejak sinopsis. Tentu ia punya hal positif, dari visual dan production design misalnya dengan colorful images yang menarik, begitupula dengan cinematography, namun mereka tidak dapat membantu mengurangi minus seperti dari sektor cerita dan karakter yang terasa underdeveloped. Cast juga memberikan kinerja terbaik mereka namun karakter mereka tidak pernah terasa bersinar. Asa Butterfield berhasil membuat Jake tampil sebagai remaja teguh namun bingung yang cukup menarik meskipun kurang ekspresif, Terence Stamp yang cukup sukses menciptakan pondasi emosi di awal, serta Eva Green yang kurang memiliki kesempatan lebih untuk membuat Miss Peregrine bersinar meskipun meraih atensi penonton lewat pesona dan penampilannya yang mencolok, dari makeup, rambut, hingga kostum. Para pemeran the peculiars juga cukup oke, dibantu dengan CGI berhasil menampilkan kesan unik dan aneh dari masing-masing karakter mereka.
Overall, Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children adalah film yang kurang memuaskan. Menggabungkan dongeng bersama sedikit sentuhan rasa superhero, fantasi dengan sedikit rasa horror dan tentu saja dibentuk dengan Burton-esque, ‘Miss Peregrine’s’ merupakan sebuah presentasi yang cukup menyenangkan dari segi visual, namun ketika berkombinasi dengan cerita yang merupakan perpaduan time travel dan juga coming-of-age ini terasa kurang memuaskan, terasa underdeveloped. Burton melakukan keahliannya di sini, menciptakan cerita dan karakter yang weird namun sama seperti beberapa film terakhirnya ia kurang berhasil menyuntikkan “kesibukan” yang konsisten menarik sejak awal hingga akhir, mengasah materi dengan berbagai bumbu dalam kecepatan penuh. It’s another “miss” on Tim Burton’s career, not super bad but there’s no awe, feels mechanical, feels like a “robotic” fantasy.
Sumber
 

FILE SIZE : 343 MB
MP4
LINK